Tuesday, May 15, 2007

Tentang Sebuah Cita yang Dijanjikan itu

Membangun obsesi kolektif berarti membangun cita-cita bersama. Bagaimana al-Qur’an membangun cita-cita bersama itu, dapat kita lihat di banyak ayatnya. Hal pertama yang disampaikan al-Qur’an terlebih dahulu adalah membangun tauhidul mafahim (kesatuan pemahaman). Pada bagian ini kita akan mentadabburi al-Qur’an pada berbagai cita-cita keummatan yang seharusnya terjadi di masa depan. Al-Qur’an sendiri menyebutnya bukan seharusnya terjadi di masa depan tetapi akan terjadi di masa depan. Kita awali dari penyatuan pemahaman terlebih dahulu.

Tauhidul mafahim adalah satu bentuk formula gagasan-gagasan yang berupaya untuk melakukan penyatuan pemahaman di antara keragaman pemahaman dan pergerakan. Islam sebagai satu Umat dengan mengacu pada satu Tuhan (tauhid) mengingkinkan terbangunnya persatuan dan persaudaraan di kalangan kaum muslimin. Dengan modal persatuan dan persaudaraan ini, berbagai proyek peradaban dapat terselenggara dengan baik. Tapi perlu diingat bahwa yang dimaksud penyatuan pemahaman ini bukan berarti penyeragaman berbagai perbedaan hingga tidak ada bentuk dan formula lain yang kreatif. Yang ditekankan al-Qur’an dalam penyatuan pemahaman adalah kesadaran akan umat yang satu, kesadaran akan umat yang terpimpin, kesadaran akan umat penengah, dan kesadaran sebagai umat yang memberikan kesaksian atas perbuatan-perbuatan manusia. Dengan kesadaran seperti inilah maka terbentuk kepahaman bersama bahwa umat Islam ketika disebut sebagai kaum muslimin, maka yang dimaksud adalah mereka yang memiliki akidah dan identitas yang digariskan al-Qur’an, karena bermuara dari al-Qur’an-lah kaum muslimin dapat bersatu.

Allah berfirman:
Dan berpegangteguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali Imran: 103)

Sungguh betapa bahagianya kita menjadi umat yang satu umat yang bersaudara. Sesama saudara kita dapat melangkah menuju masa depan yang cerah dan indah. Seandainya umat Islam bersatu mungkin persoalan kekinian tidak saja dipikirkan dan dipecahkan sendiri-sendiri. Begitu juga seandainya umat manusia bersatu mereka akan membangun perdamaian sejati dan menghindarkan diri dari permusuhan dan sengketa yang tidak perlu. Sungguh, persaudaraan inilah yang menjadikan kita optimis menatap masa depan kebangsaan kita dan dunia global ini. Lebih dari itu secara khusus sebagai umat Islam, kita semakin percaya diri untuk merangkai strategi pembangunan proyek peradaban gemilang yang kini tengah dinanti-nantikan umat manusia sedunia.

Apakah hal itu sekedar impian yang tidak mungkin dicapai? Saya kira sekedar untuk keinginan dan harapan boleh saja, agar kita semangat berdakwah menebarkan nilai-nilai kebaikan Islam. Tapi Allah memperingatkan kita dengan firmannya:
Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya. (QS. Yusuf: 103)

Jikalau Tuhan-mu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhan-mu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhan-mu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya. (QS. Yusuf: 118-119)

Faktanya memang demikian, umat manusia memiliki ego sendiri-sendiri yang satu sama lain dapat berbeda bahkan berseberangan dan berbenturan. Hal inilah yang menjadi faktor penyebab adanya sunnatuttadafu’ (hukum perbenturan)—bahasa Huntingtonnya: the class of civilization—antara al-haq wal batil.

Jika demikian faktanya maka ikutilah petunjuk ini:
Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu kebenaran (al-Qur’an) dari Tuhan-mu, sebab itu barang siapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu.” Dan ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu dan bersabarlah hingga Allah memberi keputusan dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya. (QS. Yunus: 8-9)

Setelah mengetahui realitas berat yang menantang kita untuk membangun sebuah peradaban ideal tadi, sekarang mari kita kembali pada cita-cita keummatan kita. Sebagaimana disampaikan dalam bab pendahuluan, bahwa masa depan itu terletak juga di dalam al-Qur’an, mari kita kembali pada informasi al-Qur’an mengenai masa depan.

Sejumlah Besar Golongan Kanan di Akhir Zaman
Dalam surat al-Waqi’ah diberitakan realitas masa depan umat manusia sebagai berikut:
Apabila terjadi hari kiamat,
terjadinya kiamat itu tidak dapat didustakan (disangkal).
(Kejadian itu) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan golongan (yang lain),
apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya,
dan gunung-gunung dihancurkan sehancur-hancurnya,
maka jadilah dia debu yang berterbangan,
dan kamu menjadi tiga golongan.
Yaitu golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu.
Dan golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu.
Dan orang-orang yang paling terdahulu beriman (assabiqunal awalun), merekalah yang paling dulu (masuk surga). (QS. Al-Waqi’ah: 1-10)

Secara kuantitatif jumlah golongan berkualitas assabiqunal awwalun disebutkan juga oleh al-Qur’an sebagai berikut:
Segolongan besar dari orang-orang terdahulu,
dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. (QS. Al-Waqi’ah: 13-14)

Sedangkan golongan kanan dikabarkan al-Qur’an:
Segolongan besar dari orang-orang terdahulu,
dan segolongan besar pula dari orang-orang yang datang kemudian. (QS. Al-Waqi’ah: 39-40)

Inilah kabar masa depan yang menggembirakan. Melalui informasi ini, kita menjadi yakin bahwa peradaban Islam akan tegak disebabkan manusia yang akan mendapatkan sibghah dakwah akan banyak meskipun tidak semuanya. Kegembiraan yang lain juga bahwa orang-orang berkualitas assabiqunal awwalun itu hadir juga di akhir zaman walaupun tidak banyak. Begitu juga mereka yang dimasukkan dalam golongan kanan dalam jumlah besar. Artinya pemimpin dan ummat Islam hadir secara terpadu di akhir zaman. Allahu a’lam.

Jika kaum muslimin yang berkualitas seperti para sahabat besar di zaman Rasulullah di akhir zaman sedikit, mungkin criteria mereka dapat kita ketahui dari informasi al-Qur’an dan sirah Nabi, sahabat, dan para ulama, mujahid, dan mujadid. Dan yang perlu kita ketahui dari informasi ayat ini sebenarnya adalah siapakah yang dimaksud dengan golongan kanan itu? Dengan mengetahui kriteria golongan kanan yang berjumlah banyak ini diharapkan kita termasuk di dalamnya dan dapat melibatkan banyak orang untuk ikut menjadikan dirinya menjadi orang-orang yang selamat dan mulia di sisi Allah.

Di dalam surat lain, yakni surat tentang negeri (al-Balad) dijelaskan dengan spesifik kriteria atau amal-amal yang menyebabkan manusia digolongkan sebagai golongan kanan.
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.
Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?
Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?
(Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan,
atau memberi makan pada hari kelaparan,
(kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat,
atau orang miskin yang sangat fakir.
Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.
Mereka adalah golongan kanan. (QS. Al-Balad: 10-18)

Di dalam surat ini dijelaskan bahwa golongan kanan itu adalah mereka yang melakukan beberapa aktivitas di bawah ini secara terpadu, yaitu:
1. Membebaskan manusia dari perbudakan
2. Memberi makan pada hari kelaparan, kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir.
3. Beriman,
4. Saling berpesan untuk bersabar, dan
5. Saling berpesan untuk berkasih sayang.

Lima pekerjaan di atas dapat dilakukan secara individual dan kolektif. Bagi personal yang memiliki kemampuan dapat dilakukan secara individual. Dan alangkah lebih baik pula jika dilakukan secara terorganisir dalam sebuah kelembagaan atau pergerakan, apalagi dijadikan sebagai program kerja pemerintahan baik di tingkat negera yang bersifat nasional maupun di tingkat Rukun Tetangga, dan keluarga.

Kesadaran penting melakukan lima aktivitas ini di tingkatan masyarakat akan mempercepat hadirnya kaum masyarakat yang beriman dengan sejumlah besar dan karenanya akan memunculkan kekuatan tersendiri. Yang perlu disadari juga bahwa apa yang dilakukan dengan aktivitas ini bukanlah karena kebutuhan eksistensi publik sehingga yang dicari di sini adalah popularitas. Justru yang diinginkan adalah aktivitas yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam dengan keikhlasan dan kebersamaan.

Dalam konteks gerakan dan pemerintahan, membebaskan manusia dari perbudakan di antaranya adalah membebaskan rakyat bangsa dari ketergantungan, hegemoni asing, inferioritas jiwa, atau keterkungkungan budaya yang tertinggal. Begitu juga pemerintah membebaskan para pekerja di luar negeri dari ketersiksaan atau pencegahan dan penindakan tegas penjualan wanita dan anak-anak. Selain dari aspek kebijakan dan regulasi perundang-undangan yang melepaskan mereka dari keterkungkungan sebelumnya, pemerintah dan lembaga masyarakat memberikan alternatif pekerjaan yang membuat mereka merasa sebagai manusia merdeka. Di sinilah pemerintah dan masyarakat harus meningkatkan harga dirinya di depan dirinya maupun di hadapan bangsa-bangsa lain. Dan hal paling mendasar dalam membangun perubahan yang permanent menghindarkan masyarakat dari ‘perbudakan’ adalah dengan meningkatkan ilmu pengetahuan dan skill (keterampilan).

Memberi makan pada hari kelaparan kepada anak yatim, kaum kerabat, dan orang-orang miskin yang sangat fakir, dapat dilakukan dengan praktis berupa penyediaan bahan makanan pada masyarakat ketika atau sebelum terjadinya masa kelaparan. Antisipasi lebih diutamakan sebelum segalanya menjadi beban yang lebih berat. Hal ini dapat dilakukan dengan pekerjaan yang lebih strategis yakni dengan kebijakan dan program-program pemberdayaan yang menjadikan masyarakat lebih produktif dan mandiri. Selain tugas pemerintahan juga lembaga masyarakat bisa mendirikan institusi pelayanan ummat. Melalui institusi ini masyarakat dilatih untuk saling membantu baik secara professional kelembagaan maupun hobby kebersamaan. Yang jelas, sensitivitas sosial harus terbangun dalam jiwa kita yang ingin tergolong sebagai golongan kanan.

Beriman adalah hal yang paling substansial dalam kehidupan. Melalui iman inilah kita dapat menyadari kedalaman segala aktivitas yang dilakukan bahwa segalanya terkait dengan Sang Khalik. Kesadaran akan adanya ketuhanan sebagai Yang Maha Mengatur kehidupan dan kesadaran akan diri yang dirancang Tuhan sebagai makhluk yang saling membutuhkan dan melengkapi menjadikan kita patut bersyukur. Bermula dari imanlah aktivitas kita mendapat pemaknaan yang sangat mendalam. Melalui keimanan pula pandangan kita menjadi visioner menembus akhirat. Dengan keimanan segalanya dapat menjadikan diri kita mendapat arahan yang jernih dalam kehidupan ini. Bahkan melalui keimanan pula kita akan memiliki semangat yang bertalu-talu untuk menggapai ridha dan ampunan-Nya serta surga-Nya yang luasnya seluas langit dan bumi.

Disadari bahwa alam realitas itu penuh onak dan duri yang karenanya membutuhkan energi perjuangan yang ekstra, atau terkadang jiwa kita mendapat kelesuan dalam menjalankan amanah kehidupan, maka betapa indahnya al-Qur’an menyarankan kita untuk saling menasehati dalam kesabaran. Jalan agar kita termasuk golongan kanan disebutkan al-Qur’an sebagai jalan yang mendaki lagi sukar, menuntut kita untuk bersabar menjalankan berbagai aktivitas dan amanah. Kata ‘saling’ di sini menunjukkan adanya timbal baik, sebab terkadang kita yang membutuhkan nasehat atau saudara kita yang membutuhkannya. Lafadz tawashou atau ‘saling memberi pesan/nasehat’ menunjukkan pula adanya saling memperhatikan dan saling mengingatkan untuk selalu berada di jalan dan petunjuk yang benar. Begitu pula dalam kehidupan publik ketika pemerintah bergeser dari idealisme atau menyimpang, perlulah masyarakat untuk tampil mengingatkan, begitu juga jika terjadi pekat (penyakit di masyarakat) pemerintah melalui kebijakannya yang mengikat dan dapat memaksa perlu untuk turun mengingatkan dan menghilangkan penyakit itu.

Kriteria terakhir dari golongan kanan ini adalah saling berpesan untuk berkasih sayang. Manusia sekejam apapun, jiwanya memiliki kebutuhan akan sentuhan kasih sayang. Kasih sayang adalah kebutuhan yang paling mendasar baik bagi kalangan anak-anak maupun usia dewasa. Mereka tidak dapat memungkiri akan kebutuhan jiwa untuk bersandar pada kasih sayang. Begitulah sesungguhnya Islam pun tidak mentolelir adanya ekstrimitas dan terorisme. Islam hadir ke muka bumi ini sebagai agama yang menyelamatkan dan penuh kasih sayang. Melalui kasih sayang inilah maka dakwah dapat diterima di kalangan yang luas. Pernah suatu ketika Rasulullah ditagih hutangnya oleh orang Yahudi di depan para sahabat. Caranya menagih pun tidak etis. Dia menagih Rasulullah dengan menarik sorban Rasulullah hingga membekas memar di leher Rasulullah. Lantas para sahabat pun bangkit dan marah. Tapi apa yang dilakukan Rasulullah? Beliau mencegah para sahabat untuk marah atau membunuhnya dan menasehati para sahabat agar si penagih hutang menagih dengan cara yang baik. Hingga si Yahudi itupun berkata, sesungguhnya aku hanya ingin menguji apakah ia benar sebagai nabi ataukah bukan. Jika ia nabi, tentu ia akan bersikap kasih saying dan lembut sekalipun dia dalam kondisi dipermalukan. Dan akhirnya, ia masuk Islam.

Bisa kita ambil hikmah dari ayat-ayat yang berkaitan dengan sejumlah besar manusia di akhir zaman yang masuk ke dalam golongan kanan itu adalah mereka yang mengaplikasikan lima pekerjaan di atas. Jika lima hal di atas dapat ditradisikan dari sekarang, maka format masa depan umat Islam dapat diprediksi lebih dekat, bahwa peradaban Islam akan tampil ke permukaan di muka bumi ini lebih cepat.

Jika diperhatikan lebih cermat, surat al-Balad yang memuat dua golongan kanan (ashhabul maimanah) dan golongan kiri (ashhabul masy’amah) ini, dapat dikatakan bahwa surat ini adalah surat yang menjelaskan komposisi sosiopolitik sebuah negeri. Bahwa di setiap negeri akan selalu terdapat dua golongan itu. Tinggal bagaimana kita memilih, apakah akan termasuk golongan kanan ataukah golongan kiri. Allohu a’lam.

Kekhilafahan di Akhir Zaman bagi Orang Beriman dan Mengerjakan Amal Sholeh
Janji lain yang menggembirakan bagi kita sebagaimana diinformasikan al-Qur’an mengenai kabar masa depan adalah janji akan terwujudnya kekhilafahan kembali bagi kita sebagaimana orang-orang terdahulu telah mendapatkannya. Allah berfirman:
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang pasik.
(QS. An-Nur: 55)

Keberadaan khilafah sangat penting bagi umat Islam bahkan bagi umat manusia di dunia ini. Semenjak khilafah Utsmaniyah tumbang pada tahun 1924 lalu di Turki, kondisi umat Islam di dunia semakin mengkhawatirkan. Umat Islam tidak lagi memiliki kekuasaan yang dapat melindungi umatnya dari rongrongan kekuasaan lain yang sangat hegemonic. Umat Islam tertinggal dan tersingkirkan di berbagai bidang kompetisi peradaban. Negara-negara adidaya pemenang Perang Dunia I dan Perang Dunia II kini menjadi pengendali dunia. Negara-negera kecil atau negera-negara Dunia Ketiga yang ingin bangkit saja dipermasalahkan. Banyak kasus ketertindasan Kaum Muslimin di berbagai belahan dunia yang tidak mendapat advokasi semestinya, alih-alih umat Islam tertuduh sebagai penyebar terorisme dunia.

Tanpa khilafah, Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin ‘cuma’ terasa di tataran wacana saja. Segala hal yang terkait dengan idealisme Islam terbatas dalam teks-teks dan sekedar nilai-nilai semata yang tidak mewujud di alam nyata. Imam Asy-Syatibi dalam kitab al-Muwafaqat menyebutkan lima hal yang fundamental (Adh-Dhoruriyatul Khamsah) dari kehadiran Islam ini, yakni hifdzud-din (menjaga agama), hifdzun-nafs (menjaga jiwa), hifdzul-aql (menjaga akal), hifdzun-nasal (menjaga keturunan), dan hifdzul-mal (menjaga harta). Pada dasarnya kelima hal yang primer ini dapat diwujudkan, terutama di tataran mikro dan makro, individu, keluarga, masyarakat, dan negara. Tapi dalam tataran makro global keummatan dan dunia, lima hal yang primer ini hanya menjadi wacana an sich. Semisal kejadian pengadilan gadis Muslimah di Perancis yang dilarang menggunakan jilbab tidak mendapatkan pembelaan yang semestinya. Umat Islam sedunia boleh marah dan demo ratusan ribu peserta aksi, tapi yang mengeksekusi kebijakan tetap saja pemerintah Perancis. Seandainya saja ada institusi Islam yang dapat mempengaruhi dan menegosiasikan kasus itu di level internasional secara mengikat dan bahkan dihormati dan disegani mungkin umat Islam hari ini akan mendapatkan kewibawaannya kembali.

Sebenarnya ijtihad Imam Asy-Syatibi memunculkan lima hal yang primer di atas dikondisikan oleh situasi dan lingkungan setempat. Pada masa itu khilafah tegak sehingga kelima hal tadi dapat disempurnakan oleh kekuasaan. Sekarang khilafah tidak ada, maka ketika melihat problem ummat yang tidak terlindungi tersebut perlu dicegah oleh pihak-pihak yang berkompeten, dan dalam tataran konsep di era sekarang ini maqoshid asy-syari’ah tadi perlu ditambahkan satu hal yang primer pula yakni hifdzul-ummah (menjaga ummat). Atas dasar pertimbangan demikian, selama khilafah belum berdiri, menjadi tugas bagi organisasi-organisasi Islam untuk dapat membela ummat dan membangun izzah-nya kembali.

Kalimat “bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa” menjadi janji Allah yang akan diwujudkan di masa depan kita. Tapi janji ini hanya akan diberikan jika kita memenuhi persyaratannya. Persyaratannya yaitu beriman dan beramal shaleh.

Yang dimaksud dengan beriman dan beramal shaleh dalam ayat ini bukanlah iman dan amal shaleh yang dipenuhi oleh diri sendiri secara tersendiri, melainkan secara kolektif. Sebab institusi kekhilafahan adalah institusi raksasa yang bersifat global, karenanya sangat dibutuhkan orang-orang beriman dan beramal shaleh dalam jumlah yang sangat signifikan. Jadi wajar saja jika kekhilafahan belum terbentuk sebab angka rasionalnya belum terpenuhi. Hal ini menjadi PR bagi kita untuk semakin giat berdakwah menebarkan dan mengenalkan Islam di berbagi sisinya baik keilmuan maupun akhlak dan lain sebagainya ke berbagai segmentasi masyarakat.

Yang perlu kita sadari juga, khilafah—begitu juga negara—bukanlah domain satu jamaah. Ia adalah institusi yang melibatkan banyak pihak di dalam tubuh umat Islam ini, sehingga mainstream yang dibangun adalah mainstream keummatan bukan keorganisasian jamaah satu kelompok. Oleh karena banyak pihak yang ikut terlibat dalam institusi global ini, maka mau tidak mau unsur toleransi terhadap berbagai perbedaan harus dikedepankan. Sikap baik yang perlu ditradisikan di kalangan umat kita saat ini adalah bekerja sama dalam hal-hal yang disepakati dan saling menghargai dalam hal-hal yang berbeda. Dengan sikap inilah kita bersatu dan bekerja sama secara harmonis.

Dengan demikian Umat ini harus mau belajar dan bekerja sama dengan orang yang berbeda dari kelompoknya demi kepentingan yang lebih besar di masa depan. Demikian pula kita dituntut untuk saling memahami logika-logika yang digunakan oleh setiap organisasi keislaman dan sejarahnya agar kita dapat menemukan titik-titk temu itu pada ruang temu yang lebih bermakna dan menghasilkan karya nyata yang lebih besar. Jika kita tidak terbiasa mempelajari perbedaan-perbedaan yang ada bisa jadi selamanya kita akan selalu saling mencurigai bahkan kita akan lebih bangga dengan diri kita sendiri, sehingga cita-cita besar itu semakin tertunda kehadirannya akibat sikap tidak positif yang dipelihara ini.

Al-Qur’an mensinyalir bahwa setiap kelompok akan membangga-banggakan golongannya sendiri, melalui firman-Nya:
Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhan-mu, maka bertakwalah kepada-Ku.
Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah-belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap kelompok merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).
Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu.
Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar. (QS. Al-Mukminun: 52-56)

Lalu Allah memberikan petunjuk pada kita untuk merekonstruksi diri akibat perpecahan umat yang terjadi ini dengan firman-Nya:
Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apa pun). Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. (QS. Al-Mukminun: 57-61)

Dalam ayat yang lain ditekankan perlunya kompetisi sehat yang berskala global dalam rangka menyelenggarakan proyek-proyek kebaikan (fastabiqul khairat). Untuk yang terakhir ini al-Qur’an mengingatkan jika mau berkompetisi dalam kebaikan maka berkompetisilah dengan visi peradaban sebagai satu Umat yang berkompetisi dengan umat lain di luar Islam.
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 148)

Duabelas Janji dalam Surat Kemenangan
Kekuasaan bisa jadi adalah salah satu bentuk indikator kemenangan kompetisi antar peradaban, sebagaimana yang termaktub dalam ayat-ayat di atas. Namun jika kita perhatikan dalam surat kemenangan atau surat al-Fath (48), bentuk-bentuk kemenangan Islam dipaparkan dengan 12 bentuk, yang satu sama lain saling melengkapi, dan jika lengkap akan menyempurnakan keindahan Islam di dunia dan akhirat.

Pertama, ampunan (2).
Ampunan Allah ini diberikan secara jelas pada hamba-hamba-Nya dan dipaparkan dalam pembukaan surat. Hal ini menunjukkan bahwa kemenangan yang paling mendasar dan vital adalah ketika seorang hamba kembali pada Rabb-nya yang Maha Pengampun. Dalam surah Saba dijelaskan indikator sebeuah negeri ideal dengan sebutan baldah thoyyibah wa Rabbun Ghafur. Dan Allah hanya akan memberikan ampunan pada hamba-hamba-Nya yang memenuhi syarat berikut:
Dan Aku akan Memberikan Ampunan kepada orang yang bertaubat, beriman, beramal shaleh, lalu ia mendapat petunjuk.

Kedua, hidayah (2).
Hidayah Allah berfungsi sebagai penerang pada jalan yang lurus (al-shirath al-mustaqim), dengan hidayah inilah manusia dapat percaya diri meyakini dan menjalani jalan kebenaran. Sebaliknya, tanpa hidayah, manusia selamanya akan dalam kegelapan dan kesesatan. Porak porandanya sebuah bangsa dan kebingungan mereka merekonstruksinya kembali jika tidak dibarengi dengan hidayah, sebagus apapun hasil perbaikan itu tetap akan menyisakan ketidaksempurnaan dan ketidakpuasan. Mereka yang berjuang tidak berangkat dari hidayah, akan mendapatkan kelelahan yang tiada berarti. Tapi seorang muslim yang berjihad dengan bekal hidayah, kelelahannyalah yang akan mengejar dirinya yang selalu bersemangat bertalu-talu.
Dengan demikian hal kedua dari bentuk kemenangan adalah mendapat hidayah.

Ketiga, pertolongan (3).
Pertolongan dalam sebuah proses perjuangan adalah satu hal yang sangat dibutuhkan. Melalui pertolongan akan didapatkan kemudahan-kemudahan dalam menggapai sesuatu. Terlebih jika pertolongan itu diisyaratkan al-Qur’an dengan istilah nashran ‘azizan atau pertolongan yang kuat. Dengan pertolongan yang kuat inilah kaum muslimin dapat menciptakan gelombang kemenangan yang sangat menakjubkan, bahkan membuat dacak kagum yang mengharu biru. Banyak kisah yang mengungkapkan bagaimana kaum muslimin dalam beberapa perjuangannya mendapat pertolongan yang tidak disangka-sangka. Melalui pertolongan inilah kemudian kemenangan mudah digapai.

Keempat, ketenangan (4).
Bentuk kemenangan juga adalah mendapatkan jiwa kita tenang atau istilah al-Qur’an sakinah. Bahasa al-Qur’an mengenai sakinah ini bersifat diturunkan (anzala sakinata fi qulubil mukminin) yang berarti ketenangan itu bersifat didatangkan setelah dan ketika memperjuangkan kebenaran secara kolektif. Ketenangan ini berfungsi untuk menambah keimanan yang telah didapatkan sebelumnya. Dengan bertambahnya keimanan energi perjuangan semakin bertambah kuat dan saat-saat tiba kemenangan itu insyaallah semakin didekatkan.

Jiwa-jiwa yang tenang sangat dibutuhkan untuk proses perjuangan yang membutuhkan energi kesabaran dan kejernihan rasionalitas. Bisa jadi tanpa ketenangan akan memicu kemarahan, yang segalanya menjadi mudah berantakan dan tidak lagi mengacu pada rencana yang telah disusun. Dengan ketenangan kita semakin dewasa menyikapi berbagai problematika, tidak reaktif apalagi sporadis. Jika anda perhatikan bagaimana para pengendali negara-negara maju itu mengendalikan negaranya, mereka tampil dengan tenang dan tidak mudah gusar. Di sinilah pentingnya jiwa yang tenang dan tidak emosional dalam memutuskan sebuah persoalan terlebih untuk persoalan-persoalan besar.

Kelima, masuk ke dalam surga (5).
Kemenangan yang paling didambakan kaum muslimin melalui berbagai sarana ibadah dan jihadnya sebenarnya adalah ingin masuk surga. Mereka beriman, berdakwah, beramal shaleh dengan aktivitas yang mashlahat dari aplikasi pemahaman agama, ilmu, serta teknologi adalah upaya untuk mendapatkan janji-Nya berupa surga yang abadi yang penuh kesenangan dan tidak akan didapatkan kelelahan sedikitpun. Mereka menahan hawa nafsu dan menyalurkan syahwatnya pada yang benar adalah bagian dari upaya menjaga diri agar kelak mendapat janji Allah berupa tempat yang menyenangkan di akhirat kelak. Kemenangan dengan cara masuk surga adalah indikator yang paling hakiki atas segala kemenangan dunia akhirat. Sebab di surga-Nya-lah kelak akan didapatkan keabdaian dan mudah dikabulkan dalam mendapatkan berbagai hal. Rasulullah telah menjamin sepuluh sahabatnya masuk ke dalam surga firdaus, kita pun berdo’a agar Allah memasukkan kita ke dalamnya.

Keenam, mengadzab kaum munafik dan musyrikin (6).
Perseteruan antara al-haq dan al-batil membelah manusia pada beberapa kelompok, mereka yang membela kebenaran dengan jujur, mereka yang membela kebenaran dengan tidak jujur, mereka yang melawan kebenaran dengan jujur, dan mereka yang melawan kebenaran dengan tidak jujur. Kemenangan berikutnya yang nyata menurut al-Qur’an adalah akan diazabnya kaum munafikin dan musyrikin. Dikatakan kemenangan karena hal ini merupakan bentuk dari pembalasan atas penyiksaan mereka terhadap kaum muslimin. Mereka akan mendapatkan giliran penyiksaan itu baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Ketujuh, diutusnya Rasulullah (9).
Diutusnya utusan-Nya pada kita adalah bentuk keberpihakan Allah pada kita. Hal ini berarti kehadiran Rasulullah merupakan bentuk kemenangan yang nyata yang telah Allah anugerahkan pada kaum muslimin dan umat manusia seluruhnya. Keberadaanya dapat dijadikan contoh bagaimana mengarungi kehidupan secara benar, mengelola oragnisasi secara benar, berinteraksi dengan banyak kalangan secara benar, berilmu dan berbisnis secara benar, dan lain-lain. Keberadaan utusan-Nya pada kita menandakan kebenaran berpihak pada kita. dengan segala hal apa yang disampaikannya meyakinkan kita untuk mengarungi perjuangan hidup sesuai petunjuk yang disampaikannya. Sebab dari para rasul-nyalah kepastian akan kebenaran bisa diukur.

Kedelapan, bai’ah para pengikut setia (10).
Bentuk kemenangan lain yang diberikan Allah adalah berbaiatnya orang-orang yang tersentuh dakwah Islam untuk totalitas mendukung, menyebarkan, dan menjaga Islam dan perjuangan Nabi Muhammad saw. Para sahabat yang berbaiat inilah yang menjadi batu-bata pertama yang menjadi fondasi piramida dakwah Islam. Tanpa mereka, mungkin gelar khairu ummah tidak akan pernah disandangkan pada ummat ini. Adanya kesetiaan dan dukungan kaum muslimin untuk memperjuangkan nilai-nilai rahmat Islam adalah kemenangan awal yang paling nyata.

Kesembilan, keridhaan (18).
Keridhaan Allah atas berbagai pekerjaan dan aktivitas kaum muslimin adalah bentuk dari kemenangan Islam juga. Tanpa ada keridhaan Allah segala perbuatan, selelah apapun dan sebesar apapun dana yang dikeluarkan menjadi sia-sia. Dengan kerdihaan Allah, tentu Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya berjalan tanpa arah yang jelas. Keridhaan Allah adalah penyemangat juang kaum muslimin. Oleh karena itu sudah selayakanya kita menyandarkan seluruh aktivitas kita hanya untuk mendapatkan keridhaan-Nya.

Kesepuluh, ghanimah (20).
Ungkapan ghanimah atau harta rampasan disebut dua kali. Bisa jadi hal ini merupakan bentuk balasan yang disegerakan. Sebab janji tersebut dapat dilihat secara kasat mata. Kemenangan yang bersifat material bukanlah hal yang tabu, hal itu adalah bentuk kewajaran. Namun yang perlu disadari bagi para pemenang adalah bahwa kemenangan material sesaat dapat menipu. Maka ketika kemenangan ini diberikan jangan kemudian terjadi perselisihan akibat pembagian, justru yang harus dikedepankan adalah itsar (mendahulukan saudaranya) dan zuhud (mementingkan akhirat). Ada adagium, orang zuhud itu adalah orang kaya yang dikejar dunia tapi ia juga meninggalkan dunia. Sedangkan orang miskin yang zuhud adalah mereka yang mengejar dunia tapi malah ditinggalkan dunia.

Kesebelas, fathul Makkah (27).
Kemenangan yang nyata yang Allah berikan pada Rasulullah adalah dibukanya Mekkah al-Mukarromah untuk Islam. Fathul Makkah ini menjadi tonggak sejarah bagi penyebaran Islam. Sebab pasca hijrah ke Madinah, selama Mekkah sebagai kiblatnya tidak futuh, selamanya negeri-negeri yang lain tidak akan dibukakan. Begitu juga Rasulullah mengatakan bahwa tidak ada hijrah setelah fathul Makkah. Itu artinya kaum muslimin sudah memiliki rumah sendiri dan menjadi pusat penyebaran Islam setelah memiliki Mekah dan Madinah, yang karenanya pengembangan Islam ke negeri-negeri lain bukanlah hijrah melainkan intisyarudda’wah (penyebaran/perluasan wilayah dakwah). Sebab itulah ia disebut sebagai pemenangan Islam.

Keduabelas, memenangkan Islam di atas agama yang lain (28).
Kemenangan yang paling tinggi adalah memenangkan Islam di atas agama-agama yang lainnya. Bentuk kemenangan ini merupakan kesadaran puncak bahwa Islam itu ya’lu walaa yu’laa ’alaih (tinggi dan tidak ada yang melebihi ketinggiannya). Islam menang dari berbagai sisi, baik sisi spiritual, sisi konseptual, sisi kepemimpinan, sisi sosial keummatannya, di bandingkan dengan peradaban yang lainnya. Begitu juga Islam menang dari sisi pembuktian ilmu pengetahuannya, bahkan Islam pun menang dari sisi kontribusi materialnya sekalipun dari pada peradaban yang lainnya. Islam lebih kontributif membawa manusia pada hakikat kesejatiannya di dunia dan akhirat.

Dari duabelas bentuk kemenangan yang dipaparkan a-Qur’an baru sebelas yang telah dibuktikan oleh sejarah. Tinggal satu kemenangan yang belum Allah berikan pada kita, yaitu “Kemenangan Islam di atas agama-agama yang lain”. Dalam buku The Adveture of Islam, Marshall Hoghston, seorang sejarawan yang jujur dan sangat ambisius untuk menuliskan sejarah dunia paling lengkap di dunia. Ia memulai riset dan menulis sejak berusia 19 tahun, dengan jujur dia menyatakan bahwa dirinya adalah seorang kristiani yang taat, namun dia mengakui kehebatan Islam. Menurutnya, setelah berpuluh-puluh tahun ia melakukan riset, di penghujung usianya, sebagaimana diakui dalam pembukaan buku itu, ia menyimpulkan bahwa sejarah dunia itu berputar. Dan putarannya itu berporos pada sejarah Islam. Dan sejarah Islam itu pun berputar yang berpusat pada satu pribadi, yakni pribadi Muhammad. Dan sesungguhnya pribadi Muhammad pun berpusat pada satu kekuatan, yaitu al-Qur’an yang dibawanya. Atas keyakinan yang kuat pada al-Qur’an-lah kaum Muslimin mampu menciptakan kegemilangan dalam sejarahnya. Bahkan sebenarnya mereka bereksodus ke belahan dunia lainnya hanya membawa satu kepercayaan diri sebagai the chosen people (khairu ummah).

Hari ini kaum muslimin tersingkirkan dari pusaran arus sejarah manusia. Kaum Muslimin berada di pinggiran panggung sejarah menatap manusia-manusia liberal mengendalikan kekuatan ekonomi politik dunia dan memainkan syahwat manusia pada jurang hiburan yang melenakan dan mematikan. Alam pikiran manusia pun terbelah pada cara pandangnya yang sekuler dan liberal. Manusia hanya meyakini bahwa alam ini tercipta dengan sendirinya tanpa kreasi cerdas Tuhan. Bahkan mereka berani mengatakan bahwa Tuhan telah mati. Para filosof pun menyatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui detil-detil penciptaannya, bahwa Dia tidak lagi mengurusi dunia atau pensiun setelah alam ini tercipta. Dll.

Kehadiran Islam adalah meluruskan kondisi yang ada. Sebab Islam membawa umat manusia pada jawaban-jawaban yang pasti dan membimbing manusia pada jalan yang benar. Mengajak pada penyembahan Tuhan yang Satu yang menciptakan alam semesta dengan sempurna tanpa bantuan. Menghilangkan gap antara kemiskinan dan kekayaan. Jika kondisi itu dibiarkan berlanjut maka kehancuran akan segera menimpa umat manusia dan semesta. Sebelum alam ini berakhir pada hari kiamat, maka Islam akan tampil memperbaiki kondisi yang ada. Itu artinya Kemenangan Islam adalah mutlak kehadirannya di masa depan. Oleh karena itu masa depan ada di tangan Islam adalah sebuah kepastian. Pertanyaannya kapankah hal itu terwujud?

Untuk menjawab masalah kapan, hal ini kita serahkan pada Allah karena termasuk masalah yang ghaib. Tapi yang perlu digarisbawahi adalah bahwa kemenangan Islam itu tidak akan mewujud jika syarat-syaratnya belum terpenuhi. Dan salah satu syaratnya adalah hadirnya manusia-manusia besar yang memiliki kapasitas yang layak untuk mengemban kemenangan Islam. Mengapa harus manusia berkapasitas besar? Sebab Kemenangan Islam tidak dapat diemban oleh orang-orang yang lemah. Karena agama ini sebenarnya adalah agama peradaban yang memuat pemahaman-pemahaman yang mendalam dan kaidah-kaidah yang keseluruhannya memungkinkan dunia ini dikelola dengan desain dan sistem yang terpadu dan kokoh yang melibatkan banyak pihak di dalamnya. Karena itu penyangga peradaban Islam ini hanya dapat ditanggung oleh generasi yang berkualitas.

Lantas, siapakah mereka yang dapat memenangkan Islam di muka bumi itu? Generasi yang seperti apa yang dapat mengemban kebesaran Islam itu? Apakah mereka manusia-manusia super ataukah mereka manusia biasa? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan dibahas dalam bab terakhir.

2 comments:

Jawara ti Garut said...

Skrip anda patut diacungi jempol untuk kaum intelektual dikalangan anda saja!!
ingat kawan setiap gerak langakah kita akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT.
Bila anda menengok ke terminal, diskotik, dan tempat2x maksiat lainnya didalamnya mereka kebanyakan orang islam.
Tanggung jawab siapa!?
Bukan Para ulama, Ustadz dan Santri...akan tetapi tugas orang yang mengaku umat Rasulullah.
Ingat Kawan!! Ummat saat ini sedang menderita Menunggu kita disana, menunggu apa yang anda tulis.
Buatlah kerja cara Rasul dengan dakwah berjumpa dengan umat........
Mujahid bukan mati dengan penanya tapi dengan Bermujahadah mendakwahkan agama ini, Suapaya tersebar diseluruh alam.
Semoga selalu dalam Rahmat Allah SWT.
Assalamu Alaikum,

Jawara ti Garut said...

Skrip anda Acungan jempol tapi hanya bisa dibaca untuk kaum intelektual!!
Gerakkan kaki anda untuk ummat yang berada di terminal, diskotik, dan dijalanan.
hidupkan usaha da'wah yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w, Insya Allah Islam akan jaya di dunia yang sementara ini