Monday, May 14, 2007

Merebut Masa Kini Dengan Setting Masa Depan

Merebut masa kini dengan setting masa depan adalah semangat inti yang mewarnai seluruh tulisan buku ini. Merebut masa kini berarti bahwa kita ingin hidup dan hadir di hari ini dan saat ini. Tidak hidup di masa lalu dan tidak pula hidup di alam mimpi. Kita ingin hidup exist sekarang, bukan adanya seperti tiadanya. Atau kepergiaannya tidak dihiraukan apalagi ditangisi, atau bahkan keberadanyaannya tidak diharapkan. Kita ingin bahwa hidup saat ini memberikan banyak manfaat pada kepentingan manusia sebanyak-banyaknya. Tapi mengapa seolah-olah kehidupan tidak berpihak pada kita, justru yang nampak di era masa kini dimanfaatkan dan dikendalikan oleh ‘orang lain’.

Dalam konteks peradaban, masa kini umat manusia telah direbut oleh Barat dan kekuatan-kekuatan kapitalisme. Umat Islam dan bangsa Indonesia sama sekali tidak exist. Yang terjadi malah lebih parah, umat Islam (dan bangsa ini) mengikuti kehendak Barat. Jika yang terjadi secara dominant demikian, maka hal ini adalah alamat tragedi bagi kemanusiaan. Lihat saja, permainan ekonomi dunia yang menggunakan ekonomi kapitalisme liberal, telah membawa manusia pada jurang kehancurannya. Yang kaya semakin kaya raya dan yang miskin semakin tersingkirkan. Dalam politik luar negeri pun demikian, negara-negara dunia ketiga tidak diperbolehkan menggunakan nuklir sekalipun untuk kebaikan dan damai. Tapi negara-negara kapitalis diperbolehkan menggunakan nuklir bahkan boleh mengancam negara-negara yang mengganggu kepentingannya di negara-negara kawasan. Hal ini sangat menyedihkan, terutama bagi umat Islam yang memiliki potensi kebaikan seharusnya tampil memimpin dunia ini kepada kebaikannya yang hakiki.

Kenyataan persoalan-persoalan umat Islam dan bangsa kita memang persoalan yang penting untuk kita renungkan, hal itu bukan berarti mengajak kita untuk meratapi lalu termenung, justru sebaliknya fenomena-fenomena itu harus memantik kita untuk mendiagnosanya secara cermat dan mengobatinya dengan sabar.

Sebagaimana dijelaskan dalam kata pengantar, tulisan ini adalah rangkaian tulisan tadabbur al-Qur’an yang menawarkan kita untuk bangkit melakukan perbaikan diri dan kolektivitas keummatan dan kebangsaan kita. Satu hal yang menjadi asumsi saya dalam membangkitkan potensi diri dan kolektivitas kita bukanlah berangkat dari permasalahan, ‘karena diri dan organ yang berangkat dari permasalahan itu sesungguhnya ia bermasalah’ ujar teman saya. Kita dapat bangkit kembali secara permanent bukan pula dari adanya common enemy (musuh bersama), sebab jika ternyata musuh itu berbalik menjadi kawan, pergerakan kita sudah tidak bersemangat lagi sebab musuh sudah tidak ada, bisa jadi lama-lama pergerakan akan terhenti. Yang membuat kita bangkit dan bergerak secara permanent dan herois adalah karena berangkat dari visi, cita-cita, dan tujuan. Rencana tentang masa depan itulah yang memicu kita bergairah dan berobsesi untuk selalu memacu diri mencapai finis masa depan yang kita gariskan. Persoalannya dari mana kita menyusun masa depan.

Teori Masa Depan
Memprediksi dan menyusun rencana masa depan dapat digali dari teori-teori berikut ini. Pertama masa depan terletak di Masa Depan itu sendiri. Kedua, masa depan terletak di Masa Lalu. Ketiga, masa depan terletak di Masa Kini, dan terakhir masa depan terletak di dalam al-Qur’an.

Terletak di Masa Depan (prediksionisme)
Teori Masa depan terletak di masa depan menyatakan bahwa kenyataan masa depan itu belum terjadi dan hanya akan terjadi pada saatnya kelak. Karena belum terjadi, maka masa depan itu terletak di masa depan itu sendiri. Untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan, alat ukur yang digunakan dari teori ini adalah melakukan prediksi. Dengan memprediksi, maka apa yang akan terjadi di masa depan dapat diduga.
Sebenarnya teori masa depan ada di masa depan ini adalah satu hal yang mutlak, namun persoalannya bagi kita yang ingin berjalan ke masa depan apakah hanya diam memprediksi apa yang akan terjadi? Yang kita inginkan bukanlah menjadi pengamat masa depan an sich lebih dari itu adalah menjadi pelaku di masa depan. Agar teori prediksionisme ini lebih aplikatif maka alat yang digunakan bagi para pelaku perubahan di masa depan adalah dengan melakukan perencanaan. Dengan menjalankan rencana maka sesuatu itu akan terjadi.

Memprediksi = Menduga/Mengetahui sesuatu di Masa Depan
Merencanakan = Mewujudnyatakan sesuatu di Masa Depan

Perencanaan adalah ilmu alat untuk lebih mendekatkan diri kita pada realitas masa depan. Walaupun kita tahu sebagai manusia yang lemah, bahwa apapun rencana kita, tapi Allah jualah yang menentukan. Allah berfirman, “tidak ada seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi esok hari” (QS. Lukman: 34). Ayat ini menjelaskan bahwa perencanaan apapun mengenai masa depan bersifat nisbi, bukan mutlak, yang mutlak hanyalah Allah.

Memprediksi maupun merencanakan sesuatu dua-duanya bersifat nisbi karena ia adalah upaya untuk menggapai masa depan. Yang perlu digarisbawahi dalam perumusan masa depan bagi umat dan diri kita adalah menyandarkan segala tujuan itu hanya pada Yang Mutlak. Dengan menyandarkan diri pada Yang Mutlak masa kini dan masa depan, maka kita mendapat pencerahan yang jelas, karena arahannya satu dan tidak bercabang-cabang. Dengan menentukan satu tujuan (Objective) maka segalanya dapat diarahkan pada tujuan itu secara terpadu.

Di dalam surat al-Insyiqaq ayat enam, Allah telah menjelaskan bahwa sesungguhnya semua manusia tengah menuju pada-Nya disadari ataupun tidak. Bagi yang menyadarinya maka ia harus bersungguh-sungguh menyandarkan diri dan perencanaannya hanya pada-Nya, menuju-Nya, dan menjalankan dengan cara yang diinginkan-Nya.

Allah menginformasikan, “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS. Al-Insyiqaq: 6).

Perencanaan membangkitkan umat dan bangsa harus disadari dalam rangka menuju dan karena-Nya. Dengan menyandarkan pada-Nya maka seluruh aktivitas menuju masa depan harus mengikuti alur yang telah dirumuskan dalam syari’ah(jalan)-Nya.

Bagi yang tidak menyandarkan diri pada dan menuju-Nya, maka ia akan mengalami apa yang digambarkan al-Qur’an sebagai berikut:
Dan barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka dia bagaikan jatuh dari langit, lalu disambar burung, atau dihempas angin ke tempat yang jauh. (QS. Al-Hajj: 31)

Orang yang tidak memiliki orientasi ketuhanan, ia akan selalu kebingungan, sering terombang-ambing, dan tidak ada tempat mengadu yang hakiki atas segala persoalannya, maka ia menjadi mudah goyah dan putus asa. Jadi, memprediksi masa depan dan merencanakan diri dan umat ke masa depan harus dengan mengikuti jalan dan informasi-informasi yang dikabarkan Tuhannya melalui perantaraan wayhu dan para utusan-Nya.

Terletak di Masa Lalu (romantisme)
Orang-orang Barat jika ingin mengetahui nasib sebuah bangsa di masa depan maka ia akan mempelajari masa lalu bangsa itu. Dengan mendeteksi fakta-fakta yang telah terjadi pada bangsa dan komunitas itu, dengan mudah dapat diduga akan seperti apa nasib bangsa itu di masa depan. Karenanya mereka sangat kuat penjagaan data-data dan arsip-arsip sejarah bangsa-bangsa. Karenanya juga mereka lebih mengenal bangsa itu melebihi para penduduk bangsa itu sendiri. Penduduk sebagai pelaku, biasanya abai terhadap apa-apa yang telah dilakukan oleh kaumnya sebelumnya, karena bagi mereka yang penting adalah hari ini dan esok hari. Tapi bagi kalangan orang-orang yang memiliki kepentingan politik, untuk menghegemoni suatu bangsa, mereka membaca ‘tubuh’ bangsa itu secara komprehensif dari masa lalu hingga masa ia hidup.

Dengan membaca masa lalu akan didapatkan keterangan-keterangan yang berharga, setidaknya dalam dua hal yakni: sesuatu yang tetap dan yang berubah-ubah. Karakter apa yang tetap pada bangsa itu dan pola-pola apa yang dapat berubah pada bangsa itu akan disikapi secara berbeda. Dengan mengetahui data-data pasti apa yang terjadi di masa lalu, mereka dapat melakukan intervensi sosial, ekonomi, politik, budaya, dan pemikiran dengan caranya yang kreatif. Seperti misalnya, apakah bangsa Indonesia adalah bangsa yang disiplin, jika ya maka pendekatannya adalah pendekatan formal. Sebaliknya jika bangsa Indonesia adalah bangsa penurut dan tidak efisien, maka ia akan dijajah dengan cara harus tunduk pada aturan mereka.

Teori masa depan terletak di masa lalu, cukup banyak digunakan dalam berbagai kesempatan baik dalam proses perencanaan diri maupun perencanaan organisasi dan negara. Dalam merencanakan diri, sebelum merumuskan visi yang ideal, maka perlu membaca sejarah diri terlebih dahulu agar ketika cita-cita ideal itu tidak tercapai tidak jatuh dengan keras. Makanya dengan membaca sejarah diri menjadikan diri kita lebih arif dan lebih realistis.

Bagitu pula dalam upaya membangkitkan umat yang sempat berjaya selama seribu tahun memimpin dunia, tapi karena pergerakan peradabannya mengalami deklinasi selama seratus tahun lebih, maka upaya penyehatannya tidak bisa satu dua tahun, perlu ada jangka waktu tertentu untuk mengalami terapi dan uji coba pengobatan.

Teori masa depan terletak di masa lalu ini disebutkan juga di dalam al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 18 berikut ini:
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa-apa yang telah dipersiapkan untuk esok, dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hasyr: 18)

Ayat ini menganjurkan kita untuk melihat masa lalu yang sudah terjadi atau yang disiapkan untuk menuju masa depan. Dengan menganalisasi masa lalu akan didapat bagaimana format masa depan bangsa ini. Tapi jika kita tela’ah lebih lanjut penggunaan lafdziyah pada ayat ini, akan ditemukan bahwa ‘memperhatikan’ atau ‘melihat’ masa lalu itu tidak menggunakan lafadz ra’a (melihat), tetapi nadhara yang di antara varibel katanya adalah an-nadhariyah atau dalam bahasa kita diartikan teori. Lafadz nadhara adalah lafadz yang berarti melakukan teoritisasi. Jadi yang diperintahkan di dalam ayat ini adalah melakukan teoritisasi sejarah. Dengan melakukan analisis atau teoritisasi sejarah akan diketemukan tingkat kemampuan bangsa atau umat ini untuk bangkit kembali. Maka dari sanalah sejarah masa depan akan terbentuk.

Di sisi lain ayat ini juga memerintahkan kita untuk melakukan perencanaan diri menuju masa depan itu. Sebab masa depan itu hanya akan ditemui oleh para pelaku jika ia merencanakan diri. Jadi masa depan sebetulnya adalah kumpulan perencanaan yang mengalami kesepakatan-kesepakatan, benturan-benturan, dan kompromi-kompromi. Ustadz Anis Matta mengatakan jika memperhatikan secara seksama, “bahwa ayat pendek ini diapit oleh dua perintah bertaqwa dua kali, itu artinya bahwa ekspresi terkuat dari ketaqwaan adalah merencanakan diri.”

Terletak di Masa Kini
Madzhab yang mengatakan bahwa masa depan terletak di masa kini adalah madzhab realis. Yakni bahwa masa depan yang kita bicarakan itu adalah masa kini itu sendiri. Juga yang dimaksud dalam pandangan masa depan terletak di masa kini itu adalah bahwa apa yang dilakukan di masa kini akan berdampak pada realitas yang akan berkembang kemudian di masa depan. Tradisi yang diujicobakan saat ini lama kelamaan akan menjadi karakter yang terbawa-bawa hingga ke masa depan. Kenyataannya memang demikian, karena jika pun kita memiliki rencana yang teratur rapi dan sistematis jika tidak diaplikasikan rencana itu tidak akan mewujud nyata. Oleh karena itu, perencanaan di masa depan sangat ditentukan oleh kenyataan hari ini.

Teori masa depan terletak di masa kini menjelaskan bahwa apa yang terjadi di masa depan tergantung dengan usaha kita saat ini. Ustadz Hasan al-Banna mengatakan bahwa hari ini adalah hasil dari mimpi kita kemarin, dan masa depan adalah hasil mimpi kita sekarang. Persoalannya apakah kita memimpikan sesuatu yang akan terjadi di masa depan dan bekerja penuh untuk mewujudkannya. Maka jawabannya jika kita bermimpi dan bekerja, masa depan akan terbentuk oleh kenyataan hari ini. Demikianlah bagi mereka yang menjalankan hidup dengan visi besar dan perencanaan, ia akan menjalankan hari-harinya dengan bermakna. Dan dia akan selalu waspada jika apa yang sudah direncanakan itu akan mengalami kegagalan. Oleh karenanya mereka yang menjalani hidup hari ini-nya dengan penuh makna akan menkimati proses dan perjuangan yang berliku. Dan karenanya pula ia harus bersabar menjalankan proses itu.

Allah berfirman,
Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu. Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman akan melihat pekerjaanmu. Dan kamu akan dikembalikan kepada yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata; maka Dia akan memberitakan kepadamu tentang apa yang kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah: 105)

Berkenaan dengan ayat di atas, yang terpenting bagi kita sebagai makhluk yang tidak tahu kapan jadwal ajal tiba adalah bekerja dan bekerja, beramal dan beramal. Dan amal yang kita kerjakan bukanlah amal yang sia-sia melainkan amal yang memiliki nilai yang unggul. Nilai yang unggul ini sebenarnya bisa karena banyak faktor, di antaranya adalah niat (visi) maupun kualitas kerja dan manfaatnya itu sendiri.

Kerja yang visioner mungkin dapat kita ambil contoh tentang tiga orang badui Mesir di zaman kuno yang tengah mengangkat batu. Ketiga-tiganya mengangkat batu yang sama beratnya dengan keringat yang sama derasnya. Tapi ketika ditanya, tampak perbedaan niat atau visi kerjanya, dan dari sinilah justru kualitas nilainya dapat diperhitungkan. Coba perhatikan bagaimana mereka menjawab pertanyaan yang sama ini:
“Apa yang sedang anda kerjakan wahai budak?”
Budak pertama menjawab, “Apa kamu tidak melihat saya sedang kelelahan mengangkat batu berat ini?”
Setelah budak pertama lewat, budak kedua ditanya lalu dia menjawab, “Aku sedang membangun piramida.”
Lalu, budak ketiga ditanya juga setelah budak kedua lewat, dia menjawab begini, “Aku sedang membangun peradaban Mesir.”
Coba bandingkan, dari satu pekerjaan yang sama ditanya dengan pertanyaan yang sama tapi dijawab dengan jawaban yang menunjukkan kualitas yang berbeda. Kira-kira mana budak yang visioner dan sangat memaknai hidup hari-harinya itu? Saya yakin anda bisa menjawab dengan cerdas.
Jadi, masa depan terletak di masa kini erat kaitannya dengan visi dan impian kita serta usaha kita untuk mewujudkannya, sesederhana apapun yang kita lakukan ia akan berdampak kepada alam masa depan kita.

Terletak dalam al-Qur’an
Terakhir, setelah kita mengetahui masa depan terletak di tiga masa: lalu, kini, dan esok, kita perlu meyakini bahwa masa depan juga terletak di dalam al-Qur’an. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ayat-ayat yang ber-asbabun nuzul, konon mengisyaratkan akan terjadi pengulangan dalam alam kenyataan di masa kini dan masa depan. Sejauh mana tingkat kebenaran proposisi ini perlu ada riset yang dilakukan untuk mendeteksi ‘pengulangan’ kejadian itu dalam rentang 1400 tahun pasca wahyu turun. Allahu a’lam. Yang jelas masalah masa depan dan kaitannya dengan asbabunnuzul ini termasuk masalah yang ghaib.

Yang dimaksud dengan masa depan terletak dalam al-Qur’an adalah bahwa al-Qur’an merupakan firman Allah yang dijadikan sebagai petunjuk bagi semua manusia. Dari zaman Nabi Muhammad saw. diutus hingga umatnya di akhir zaman al-Qur’an akan selalu relevan dan menjadi panduan yang dapat membimbing manusia pada jalan kebenaran. Di dalam al-Qur’an juga termaktub informasi-informasi bersejarah, fakta informasi al-Qur’an menginformasikan kekalahan dan kemenangan Romawi dijelaskan dalam surat ar-Rum, dan itu semua disaksikan sendiri oleh para sahabat Nabi.

Dalam konteks kita sebagai umatnya di akhir zaman, apa yang diinformasikan dalam al-Qur’an sesungguhnya adalah informasi berharga dalam merekayasa masa depan. Bisa jadi ayat-ayat yang dikatakan ayat masa depan itu karena keterbatasan manusia memahaminya, seperti langit ini bagaikan bunga mawar yang merah, di masa lalu tidak dapat dipahami, tapi di era sekarang baru diketemukan dengan teknologi astronomi yang canggih. Begitu juga dalam aspek historis dan empirikal kehidupan manusia. Al-Qur’an mengabarkan bahwa goncangan alam dan kerusakan lainnya adalah diakibatkan oleh tangan-tangan manusia, dan kabar-kabar lain yang jika diteoritisasi ayat-ayat itu akan ditemukan fakta bahwa al-Qur’an menjadi pembimbing yang paling relevan untuk pengembangan umat manusia di masa yang akan datang.

Berkenaan dengan proyek peradaban di masa yang akan datang yang akan dihadirkan oleh umat Islam, sesungguhnya al-Qur’an telah mengabarkannya empatbelas abad yang lalu. Namun bisa jadi dalam kondisi kita yang belum melihatnya secara kasat mata maka hal itu menjadi bab keyakinan tersendiri bagi kita: tinggal apakah kita meyakininya ataukah tidak, lalu bagaimana kita mewujudkannya. Begitulah gaya al-Qur’an menghendaki agar kita bekerja dan merancang kebangkitan umat ini dengan kehendak al-Qur’an. Seperti kabar gembira bagi kaum muslimin dan umat manusia bahwa masa depan muka bumi ini akan diwariskan pada orang-orang shaleh sebagaimana termaktub di dalam surat al-Anbiya’ ayat 105:
Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam Az-Zikr (Lauh Mahfuz), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.
(QS. Al-Anbiya’: 105)
Dalam ayat ini diisyaratkan tentang realitas masa depan bahwa muka bumi akan kembali dipimpin oleh orang-orang saleh yakni kaum muslimin. Melalui kabar ini, al-Qur’an menghendaki agar kita menyambutnya dengan gembira dengan menyiapkan diri menyongsong masa depan yang cerah bahwa esok hari adalah hari-hari kepemimpinan kaum muslimin. Bahwa peradaban dunia ini akan disokogurui oleh peradaban Islam.

Urgensi Planning dan Filosofinya
Melalui kabar gembira yang disampaikan al-Qur’an tadi, maka kewajiban kita adalah merencanakan dengan cermat kebangkitan Islam itu agar kebangkitannya bukanlah kebangkitan sesaat. Yang kita inginkan bukanlah tampil sekejap dan murung kembali akibat gertakan peradaban kapitalisme, melainkan tampil dengan performance yang sempurna dan dihargai oleh peradaban lainnya. Maka dari itu sedari awal rencana kebangkitan ini bukanlah karena trend melainkan karena perencanaan.

Pentingnya perencanaan bagi kita adalah agar kita mendapatkan panduan yang sistematis dalam melalui fase-fase kehidupan. Kehidupan tanpa rencana bisa-bisa dijebak oleh mereka yang memiliki rencana. Jika kita ingin menjadi pelaku maka mau tidak mau kitalah yang merencanakan bukan kita dimakan rencana orang lain.

Dalam konteks individual dan kolektivitas kita, perencanaan disusun bukanlah sekedar untuk agenda sehari dua hari, melainkan merencanakan dalam skala yang lebih besar dan berjangka panjang. Sehingga peristilahan yang digunakan adalah rencana strategis atau Renstra. Pentingnya menyusun dalam jangka panjang agar kita dapat bergerak di wahana yang lebih luas. Kaum muslimin sebenarnya diperintahkan Allah agar memiliki visi yang besar dan bersifat internasional, dengan visi besar ini memungkinkan kita memiliki langkah yang strategis dan tidak mudah pragmatis. Oleh karenanya kita akan menjadi hamba-hamba-Nya yang sabar mengarungi kehidupan, sebab landasan dasarnya adalah karena kita menjadikan diri kita sebagai bagian dari strategi perubahan itu. Sebagaimana dalam firman-Nya:
Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhan-mu.” Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS. Az-Zumar: 10)

Secara ideologis perlunya landasan rencana strategis ini dirancang berangkat dari ayat yang menjadi teori aksioma perubahan, bahwa “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum sehingga kaum itu mengubah apa yang ada di dalam dirinya”. Ayat ini menjadi landasan bagi fiqh taghyir (fiqh perubahan), bahwa untuk melakukan perubahan diperlukan perencanaan yang sistematis.

Secara definitif, teori kedua aksioma perencanaan perubahan itu harus berangkat dari visi besar yang dibangun di masa yang akan datang dengan berangkat dari kontinuitas sejarah yang panjang. Perencanaan strategis dalam pandangan Islam adalah bagian dari ekspresi terkuat sebuah ketakwaan. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah pada Allah dan hendaklah setiap diri menganalisa masa lalunya untuk merancang masa depan, dan bertakwalah pada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)

Katakanlah bahwa masa depan itu adalah terbentuknya masyarakat Rabbani, madani, adil dan sejahtera. Dalam konteks Islam bentuk masyarakat ideal tersebut bersifat given, diberikan dari Allah, bukan hasil perabaan manusia. Maka gambaran tentang masyarakat ideal tersebut di masa depan harus dirujuk pada format yang Allah kehendaki. Al-Qur’an mengabarkan format itu melalui dua teori yakni teori masa depan ada di masa lalu dan di dalam al-Qur’an, kedua-duanya termaktub jelas sebagaimana pujian Allah terhadap negeri Saba yang dikenal dengan sebutan baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur atau negeri yang baik dan Tuhanpun mengampuni. (QS. Saba’: 15).

Tergambar dari ayat ini bahwa format masyarakat Rabbani, madani, adil dan sejahtera itu memiliki keterpaduan dan keseimbangan antara alam material dan spiritual yang dikelola dengan baik (thoyyibah) dalam bingkai aturan-Nya (syari’ah) sehingga Dia memberikan ampunan pada penduduk tersebut. Maka, tergambar karakter dan syarat-syarat pembentukkan masyarakat seperti di atas bahwa masyarakat ideal tadi adalah masyarakat berpengetahuan (‘ilm), masyarakat yang produktif (muntijah), dan masyarakat yang professional (itqan), sehingga layak bagi Allah memberikan pada mereka kesejahteraan yang melimpah di dunia dan janji yang lebih baik di akhirat kelak.

Dambaan kita adalah menjadikan negeri Indonesia ini dan negeri-negeri kaum muslimin sedunia sebagai negeri yang disebut al-Qur’an: baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur. Kita menginginkan agar masyarakat kita diatur Allah dan mendapatkan kemelimpahan berupa kesejahteraan material dan kenikmatan spiritual. Untuk mendapatkan hal itu semua, sesuai dengan teori aksioma pertama, maka usaha hamba-hamba-Nya untuk mencapai ke sana harus dilakukan terlebih dahulu. Jika kita berupaya, janji Allah sudah sangat jelas:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf: 96)

Bisa dibayangkan, bagaimana kita mendapat keberlimpahan yang luar biasa dan di mana-mana, sudah barang tentu kita akan bersyukur dan menambah selalu kesyukuran kita pada-Nya. Namun cita-cita mendapatkan itu semua pada kenyataannya membutuhkan proses. Dan melalui berproses itulah kita dituntut untuk selalu sabar menuju tujuan kita yang telah kita gariskan tadi. Baik berproses maupun bercita-cita, kedua-duanya perlu dirancang dalam sebuah perencanaan. Di sinilah pentingnya rencana, bahwa dengan perencanaan, kita bergerak dengan kesadaran dan kehidupan yang kaya makna.

Delapan Sikap Berdialektika dengan Planning
Setelah kita merencanakan sesuatu, baik dalam konteks pribadi maupun kolektivitas institusi kita, maka saya menyarankan agar kita memegang delapan sikap berdialektika dengan perencanaan. Berikut sikap-sikap itu:

Pertama, tidak ada seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi esok
Mihwar (fase) gerakan yang dirancang gerakan, organisasi, lembaga, jamaah, partai, maupun Negara adalah bentuk perencanaan strategis pengembangan dirinya dengan melakukan prediksi-prediksi masa depan sesuai dengan kapasitas institusi yang dimilikinya. Allah berfirman, “tidak ada seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi esok hari” (QS. Lukman: 34). Ayat ini menjelaskan bahwa perencanaan apapun mengenai masa depan bersifat nisbi, bukan mutlak, yang mutlak hanyalah Allah. Sehingga kita mamahami mihwar institusi ini dalam kerangka yang dialekstis. Sebab perencanaan itu pada implementasinya di lapangan akan mengalami proses analisa kondisi, perhitungan resiko, pertimbangan-pertimbangan, kesepakatan-kesepakatan, negosiasi, dan perubahan-perubahan.

Kedua, keyakinan adanya sunnah pergiliran peradaban
Allah telah menjanjikan bahwa kaum beriman dan beramal shaleh akan mendapatkan kejayaannya kembali setelah dipergilirkan masa-masa kejayaan itu pada peradaban manusia lainnya. “… dan masa (Kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)…” (QS. Ali Imran: 140). Namun keyakinan ini tidaklah akan mewujud nyata pada peradaban Islam kontemporer jika umatnya sendiri tidak memenuhi persyaratan-persayatan yang dibutuhkan dalam memenangkan kompetisi peradaban. Maka kerja-kerja yang signifikan setelah dilakukan perencanaan adalah memenuhi persyaratan-persyaratan itu dan sekaligus meningkatkan kapasitas diri dan supporting system-nya.

Ketiga, keyakinan adanya sunnah pergantian masyarakat
Dalam konteks mikro al-Qur’an banyak mengungkapkan fenomena di masa lalu yang kemudian akan menjadi ibrah di masa mendatang dengan akan terjadi pergantian penghuni negeri. Mungkin regenerasi adalah suatu hal yang natural bagi masyarakat dan peradabannya. Namun jika merujuk pada ayat ini: “… dan jika kamu berpaling, Dia akan menggantikan (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini).” (QS. Muhammad: 38) kita akan meyakini bahwa masyarakat yang lebih baik akan lahir, dengan izin Allah, menggantikan masyarakat sebelumnya. Tetapi juga ayat ini mengisyaratkan, sesungguhnya proses pergantian masyarakat itu sangat tergantung pada kualitas keimanan dan keshalihan kita sendiri, apakah kita adalah generasi yang akan menggantikan masyarakat sebelumnya ataukah justru kita yang digantikan Allah. Hal ini semua ditimbang dalam sebuah ketentuan dan batas-batas bahwa, pergantian itu terjadi jika kita dan masyarakat kita berpaling dari Allah.

Keempat, perubahan itu harus dari diri masyarakat terlebih dahulu
Melakukan perubahan sosial tidak bisa selesai dengan menunggu burung ababil yang dikirim Allah untuk menyelamatkan masyarakat dari serangan luar dan hanya berpangku tangan tanpa melakukan perbaikan-perbaikan. Masa-masa keajaiban itu bersifat ghaib dan kita menyerahkannya pada Allah. Dalam alam pikiran rasionalitas kita, secara logis Allah menegaskan sebuah hukum alam (sunnatullah) bahwa “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sebuah kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’ad: 11). Ayat ini dengan jelas menuntut segala potensi yang kita miliki untuk melakukan perubahan, jika kita telah bergerak maka Allah pun akan membantu perubahan itu.

Kelima, perubahan itu harus direncanakan
Ketidaktahuan kita akan esok hari, bukan berarti kita tidak boleh melakukan perencanaan masa depan kita. Justru dalam memenangkan kompetisi kehidupan dibutuhkan perencanaan yang matang. Perencanaan adalah bagian pertama dalam amal. Dengan merencanakan maka kita mendapat panduan dan gambaran arah ke mana kita bergerak. Allah menginformasikan, “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemuinya.” (QS. Al-Insyiqaq: 6). Lafadz “kadihun-kadhan” berarti kerja keras yang memiliki nilai expert, yakni kerja yang sungguh-sungguh luar biasa. Kerja ekstra itu ditujukan untuk menemui Realitas Obyektif, Allah swt. Pekerjaan itu sendiri adalah kerja-kerja ‘ubudiyah dan khilafah, dan keduanya menuntut implementasi yang terencana. Dalam proses perencanaan ini pun harus kita sandarkan pada ketakwaan kita pada Allah. (QS. Al-Hasyr: 18)

Keenam, perubahan itu bertahap dan kontinue
Perlu diingat bahwa perencanaan itu tidak serta merta dapat diimplemetasikan dengan tidak melihat realitas di lapangan. Di lapangan akan kita temukan orang-orang yang berbeda dalam memahami sesuatu. Proses memberikan pemahaman itu pun terkadang harus disampaikan secara bertahap sesuai logika yang dapat dicerna oleh kader pada saat itu. Dalam logika struktur gerakan, masing-masing daerah memiliki prioritas-prioritas dalam menyelesaikan masalahnya. Maka pada tataran level organisasi, sebuah rencana akan mengalami penyesuaian-penyesuaian dan penerjemahan-penerjemahan mulai dari nilai-nilai idealismenya, gagasan dan ide konsepsionalnya, serta program-program strategisnya, hingga operasional teknisnya. Bahkan dalam tahap perubahan itu sendiri dibutuhkan kepekaan dan kearifan lokal, sebab sudah menjadi kebijakan Allah bahwa masing-masing memiliki kondisi yang berbeda dan pemahaman yang berjenjang. “pasti kamu akan melewati tingkatan demi tingkatan” (QS. Al-Insyiqaq: 19). Maka sosialisasi sebuah ide dan gagasan harus dilakukan sebaik mungkin, sebab di interaksi dengan komunitas masyarakat yang homogen lebih mudah daripada masyarakat yang heterogen. Ayat di atas juga mengisyaratkan bahwa fase-fase perjuangan itu harus bersifat kontinyuitas. Tahap yang satu menjadi fondasi bagi tahap setelahnya. Begitu juga sebaliknya, tahap yang satu itu adalah prolog bagi tahap pengembangan berikutnya.

Ketujuh, momen-momen kemenangan itu melibatkan Allah
Banyak al-Qur’an mengungkapkan bahwa di momen-momen perjuangan dan kemenangan itu Allah selalu terlibat. Dalam surah al-Anfal ayat 17 dijelaskan bahwa, “Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Maka selalulah berpegang teguh pada tali Allah dan tidak berbangga diri, sebab ketentun Allah lebih besar dari perencanaan yang kita buat sebagus apapun design-nya.

Kedelapan, bekerjalah di medan amal
Pada akhirnya sebuah rencana bagaimana pun juga hanya akan menjadi goretan hitam di atas putih jika tidak diamalkan. Maka mengaplikasikan rencana itu adalah bagian dari proses penyelamatan umat dan pencapaian cita-cita Islam. Dalam kondisi apapun dan di manapun kita berada, maka bekerjalah secara proporsional dan manhaji. Beramal bukan berarti menunggu orang lain menyoroti kita terlebih dahulu, tapi beramallah seikhlasnya. Dengan beramal akan tercapai keberkahan, sebaliknya, Allah memperingatkan kita, melalui ayat ini, “Amat besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang tiada kamu kerjakan.” (QS.Ash-Shaff: 3)

Memiliki visi dan obsesi besar sebagai Khairu Ummah
Pendahuluan ini tampak panjang dan mungkin terlalu abstrak karena banyak teori yang diberikan. Sebenarnya kumpulan tulisan tadabbur al-Qur’an ini adalah dalam rangka membangun visi dan obsesi besar sebagai khairu ummah dalam diri kita dan alam lembaga yang diamanahkan pada kita sehingga dibutuhkan banyak teori dan konsep dasar yang menjadi pijakan pergerakannya. Menjadi umat yang terbaik bagi umat Islam saat ini mun.gkin tampaknya pesimistis untuk sebagian orang, tapi jika kita menguatkan kembali konsep keimanan kita, tidak layak bagi kita untuk merasa inferior: Kita harus bangkit bersama dengan visi peradaban yang mulia.
Allah berfirman:
Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman. (QS. Ali Imran: 139)
Para cendekiawan muslim mengatakan bahwa di setiap kebangkitan, selalu diawali dengan kebangkitan ilmu. Upaya menggali informasi yang termaktub dalam al-Qur’an ini adalah sebagian dari pencarian pengetahuan yang Allah berikan pada kita agar kita selalu percaya diri untuk bangkit menyongsong masa depan yang mulia. Ketahuilah bukan saja segolongan kaum muslimin yang ditunggu umatnya tampil menjadi pemimpin dunia, tetapi juga mayoritas manusia menghendaki adanya peradaban yang tampil memimpin dunia ini ke arahnya yang benar. Dan kita yakin bahwa peradaban Islam membimbing ke jalan benar itu.

Mengapa Nabi Sulaiman
Bukanlah keharusan kita menentukan satu dua figur untuk kita ikuti, sebab dalam Islam, semua nabi adalah nabi-nabi kaum muslimin. Dan mereka semua adalah qudwah yang harus diteladani kaum muslimin di mana dan kapan pun mereka berada. Mengapa nabi Sulaiman dijadikan sentral pembicaraan dalam tadabbur ini? Tiada alasan yang mendasari saya mengambil figur nabi Sulaiman, selain karena sosok pribadi beliau dan kerajaannya mencerminkan spirit yang obsesif yang sangat relevan dengan realitas kita saat ini yang mencita-citakan terwujudnya khilafah Islamiyah di masa yang akan datang sebagai struktur penyangga peradaban Islam di muka bumi ini dan menjadi sokoguru peradaban bagi peradaban-peradaban manusia lainnya.
Sesuai teori-teori Masa Depan yang dibahas di awal tadi, setting tradisi keunggulan Nabi Sulaiman di Masa Lalu yang dikabarkan di dalam Al-Qur’an ini adalah cerminan Masa Depan yang akan digapai. Maka atas dasar pemikiran ini, kita perlu mempelajari struktur dan skema pembangunan masa depan yang digambarkan al-Qur’an melalui setting tradisi nabi Sulaiman a.s. ini serta dikontekstualisasikan dengan upaya pencapaiannya di masa kini. Di sinilah kemudian logika ‘Merebut Masa Kini dengan Setting Masa Depan’ dapat kita terapkan, yakni mendesain diri dan umat hari ini dengan setting Masa Depan yang tergambarkan dari al-Qur’an dan pengalaman masa lalu sejarah kejayaan umat terdahulu.

Nabi Sulaiman a.s adalah raja kaum Bani Israel setelah Nabi Daud a.s. yang mendapatkan kesuksesan di berbagai segi dan sektor kehidupan secara signifikan. Al-Qur’an banyak mengelaborasi keajaiban-keajaiban yang ditampakkan di masanya. Keunikan lain yang tampak dari Nabi Sulaiman ini adalah pemberian Allah yang tidak tanggung-tanggung pada hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh serta mengoptimalisasi sumber daya yang diamanahkan padanya dengan sebaik-baiknya.

Maka atas dasar pemikiran itu, saya mengajak anda semua untuk menelusuri bagaimana kita dapat bangkit dengan obsesi Rabbani dengan diawali tadabbur al-Qur’an terlebih dahulu agar kita menjadi sebaik-baik hamba-Nya dan hamba yang taat, sebagaimana Nabi Sulaiman yang semula terpuruk lalu bertaubat dan bangkit dengan penuh gairah melakukan perubahan hingga Allah menyebutnya…Dia adalah sebaik-baik hamba. Sungguh dia sangat taat (kepada Allah). (QS. Shad: 30)

2 comments:

khamamah said...

ass salam kenal akhi ana mantan irm pwt yang aktif di kammi gresik alhamdulillah banyak ibroh sampai saat ini gmn ya akh sp bisa nulis kayak antm


salam kenal www.khamamah.blogspot.com

Unknown said...

good idea