Tuesday, May 15, 2007

Tentang Sebuah Cita yang Dijanjikan itu

Membangun obsesi kolektif berarti membangun cita-cita bersama. Bagaimana al-Qur’an membangun cita-cita bersama itu, dapat kita lihat di banyak ayatnya. Hal pertama yang disampaikan al-Qur’an terlebih dahulu adalah membangun tauhidul mafahim (kesatuan pemahaman). Pada bagian ini kita akan mentadabburi al-Qur’an pada berbagai cita-cita keummatan yang seharusnya terjadi di masa depan. Al-Qur’an sendiri menyebutnya bukan seharusnya terjadi di masa depan tetapi akan terjadi di masa depan. Kita awali dari penyatuan pemahaman terlebih dahulu.

Tauhidul mafahim adalah satu bentuk formula gagasan-gagasan yang berupaya untuk melakukan penyatuan pemahaman di antara keragaman pemahaman dan pergerakan. Islam sebagai satu Umat dengan mengacu pada satu Tuhan (tauhid) mengingkinkan terbangunnya persatuan dan persaudaraan di kalangan kaum muslimin. Dengan modal persatuan dan persaudaraan ini, berbagai proyek peradaban dapat terselenggara dengan baik. Tapi perlu diingat bahwa yang dimaksud penyatuan pemahaman ini bukan berarti penyeragaman berbagai perbedaan hingga tidak ada bentuk dan formula lain yang kreatif. Yang ditekankan al-Qur’an dalam penyatuan pemahaman adalah kesadaran akan umat yang satu, kesadaran akan umat yang terpimpin, kesadaran akan umat penengah, dan kesadaran sebagai umat yang memberikan kesaksian atas perbuatan-perbuatan manusia. Dengan kesadaran seperti inilah maka terbentuk kepahaman bersama bahwa umat Islam ketika disebut sebagai kaum muslimin, maka yang dimaksud adalah mereka yang memiliki akidah dan identitas yang digariskan al-Qur’an, karena bermuara dari al-Qur’an-lah kaum muslimin dapat bersatu.

Allah berfirman:
Dan berpegangteguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali Imran: 103)

Sungguh betapa bahagianya kita menjadi umat yang satu umat yang bersaudara. Sesama saudara kita dapat melangkah menuju masa depan yang cerah dan indah. Seandainya umat Islam bersatu mungkin persoalan kekinian tidak saja dipikirkan dan dipecahkan sendiri-sendiri. Begitu juga seandainya umat manusia bersatu mereka akan membangun perdamaian sejati dan menghindarkan diri dari permusuhan dan sengketa yang tidak perlu. Sungguh, persaudaraan inilah yang menjadikan kita optimis menatap masa depan kebangsaan kita dan dunia global ini. Lebih dari itu secara khusus sebagai umat Islam, kita semakin percaya diri untuk merangkai strategi pembangunan proyek peradaban gemilang yang kini tengah dinanti-nantikan umat manusia sedunia.

Apakah hal itu sekedar impian yang tidak mungkin dicapai? Saya kira sekedar untuk keinginan dan harapan boleh saja, agar kita semangat berdakwah menebarkan nilai-nilai kebaikan Islam. Tapi Allah memperingatkan kita dengan firmannya:
Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya. (QS. Yusuf: 103)

Jikalau Tuhan-mu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhan-mu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhan-mu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya. (QS. Yusuf: 118-119)

Faktanya memang demikian, umat manusia memiliki ego sendiri-sendiri yang satu sama lain dapat berbeda bahkan berseberangan dan berbenturan. Hal inilah yang menjadi faktor penyebab adanya sunnatuttadafu’ (hukum perbenturan)—bahasa Huntingtonnya: the class of civilization—antara al-haq wal batil.

Jika demikian faktanya maka ikutilah petunjuk ini:
Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu kebenaran (al-Qur’an) dari Tuhan-mu, sebab itu barang siapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu.” Dan ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu dan bersabarlah hingga Allah memberi keputusan dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya. (QS. Yunus: 8-9)

Setelah mengetahui realitas berat yang menantang kita untuk membangun sebuah peradaban ideal tadi, sekarang mari kita kembali pada cita-cita keummatan kita. Sebagaimana disampaikan dalam bab pendahuluan, bahwa masa depan itu terletak juga di dalam al-Qur’an, mari kita kembali pada informasi al-Qur’an mengenai masa depan.

Sejumlah Besar Golongan Kanan di Akhir Zaman
Dalam surat al-Waqi’ah diberitakan realitas masa depan umat manusia sebagai berikut:
Apabila terjadi hari kiamat,
terjadinya kiamat itu tidak dapat didustakan (disangkal).
(Kejadian itu) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan golongan (yang lain),
apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya,
dan gunung-gunung dihancurkan sehancur-hancurnya,
maka jadilah dia debu yang berterbangan,
dan kamu menjadi tiga golongan.
Yaitu golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu.
Dan golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu.
Dan orang-orang yang paling terdahulu beriman (assabiqunal awalun), merekalah yang paling dulu (masuk surga). (QS. Al-Waqi’ah: 1-10)

Secara kuantitatif jumlah golongan berkualitas assabiqunal awwalun disebutkan juga oleh al-Qur’an sebagai berikut:
Segolongan besar dari orang-orang terdahulu,
dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. (QS. Al-Waqi’ah: 13-14)

Sedangkan golongan kanan dikabarkan al-Qur’an:
Segolongan besar dari orang-orang terdahulu,
dan segolongan besar pula dari orang-orang yang datang kemudian. (QS. Al-Waqi’ah: 39-40)

Inilah kabar masa depan yang menggembirakan. Melalui informasi ini, kita menjadi yakin bahwa peradaban Islam akan tegak disebabkan manusia yang akan mendapatkan sibghah dakwah akan banyak meskipun tidak semuanya. Kegembiraan yang lain juga bahwa orang-orang berkualitas assabiqunal awwalun itu hadir juga di akhir zaman walaupun tidak banyak. Begitu juga mereka yang dimasukkan dalam golongan kanan dalam jumlah besar. Artinya pemimpin dan ummat Islam hadir secara terpadu di akhir zaman. Allahu a’lam.

Jika kaum muslimin yang berkualitas seperti para sahabat besar di zaman Rasulullah di akhir zaman sedikit, mungkin criteria mereka dapat kita ketahui dari informasi al-Qur’an dan sirah Nabi, sahabat, dan para ulama, mujahid, dan mujadid. Dan yang perlu kita ketahui dari informasi ayat ini sebenarnya adalah siapakah yang dimaksud dengan golongan kanan itu? Dengan mengetahui kriteria golongan kanan yang berjumlah banyak ini diharapkan kita termasuk di dalamnya dan dapat melibatkan banyak orang untuk ikut menjadikan dirinya menjadi orang-orang yang selamat dan mulia di sisi Allah.

Di dalam surat lain, yakni surat tentang negeri (al-Balad) dijelaskan dengan spesifik kriteria atau amal-amal yang menyebabkan manusia digolongkan sebagai golongan kanan.
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.
Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?
Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?
(Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan,
atau memberi makan pada hari kelaparan,
(kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat,
atau orang miskin yang sangat fakir.
Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.
Mereka adalah golongan kanan. (QS. Al-Balad: 10-18)

Di dalam surat ini dijelaskan bahwa golongan kanan itu adalah mereka yang melakukan beberapa aktivitas di bawah ini secara terpadu, yaitu:
1. Membebaskan manusia dari perbudakan
2. Memberi makan pada hari kelaparan, kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir.
3. Beriman,
4. Saling berpesan untuk bersabar, dan
5. Saling berpesan untuk berkasih sayang.

Lima pekerjaan di atas dapat dilakukan secara individual dan kolektif. Bagi personal yang memiliki kemampuan dapat dilakukan secara individual. Dan alangkah lebih baik pula jika dilakukan secara terorganisir dalam sebuah kelembagaan atau pergerakan, apalagi dijadikan sebagai program kerja pemerintahan baik di tingkat negera yang bersifat nasional maupun di tingkat Rukun Tetangga, dan keluarga.

Kesadaran penting melakukan lima aktivitas ini di tingkatan masyarakat akan mempercepat hadirnya kaum masyarakat yang beriman dengan sejumlah besar dan karenanya akan memunculkan kekuatan tersendiri. Yang perlu disadari juga bahwa apa yang dilakukan dengan aktivitas ini bukanlah karena kebutuhan eksistensi publik sehingga yang dicari di sini adalah popularitas. Justru yang diinginkan adalah aktivitas yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam dengan keikhlasan dan kebersamaan.

Dalam konteks gerakan dan pemerintahan, membebaskan manusia dari perbudakan di antaranya adalah membebaskan rakyat bangsa dari ketergantungan, hegemoni asing, inferioritas jiwa, atau keterkungkungan budaya yang tertinggal. Begitu juga pemerintah membebaskan para pekerja di luar negeri dari ketersiksaan atau pencegahan dan penindakan tegas penjualan wanita dan anak-anak. Selain dari aspek kebijakan dan regulasi perundang-undangan yang melepaskan mereka dari keterkungkungan sebelumnya, pemerintah dan lembaga masyarakat memberikan alternatif pekerjaan yang membuat mereka merasa sebagai manusia merdeka. Di sinilah pemerintah dan masyarakat harus meningkatkan harga dirinya di depan dirinya maupun di hadapan bangsa-bangsa lain. Dan hal paling mendasar dalam membangun perubahan yang permanent menghindarkan masyarakat dari ‘perbudakan’ adalah dengan meningkatkan ilmu pengetahuan dan skill (keterampilan).

Memberi makan pada hari kelaparan kepada anak yatim, kaum kerabat, dan orang-orang miskin yang sangat fakir, dapat dilakukan dengan praktis berupa penyediaan bahan makanan pada masyarakat ketika atau sebelum terjadinya masa kelaparan. Antisipasi lebih diutamakan sebelum segalanya menjadi beban yang lebih berat. Hal ini dapat dilakukan dengan pekerjaan yang lebih strategis yakni dengan kebijakan dan program-program pemberdayaan yang menjadikan masyarakat lebih produktif dan mandiri. Selain tugas pemerintahan juga lembaga masyarakat bisa mendirikan institusi pelayanan ummat. Melalui institusi ini masyarakat dilatih untuk saling membantu baik secara professional kelembagaan maupun hobby kebersamaan. Yang jelas, sensitivitas sosial harus terbangun dalam jiwa kita yang ingin tergolong sebagai golongan kanan.

Beriman adalah hal yang paling substansial dalam kehidupan. Melalui iman inilah kita dapat menyadari kedalaman segala aktivitas yang dilakukan bahwa segalanya terkait dengan Sang Khalik. Kesadaran akan adanya ketuhanan sebagai Yang Maha Mengatur kehidupan dan kesadaran akan diri yang dirancang Tuhan sebagai makhluk yang saling membutuhkan dan melengkapi menjadikan kita patut bersyukur. Bermula dari imanlah aktivitas kita mendapat pemaknaan yang sangat mendalam. Melalui keimanan pula pandangan kita menjadi visioner menembus akhirat. Dengan keimanan segalanya dapat menjadikan diri kita mendapat arahan yang jernih dalam kehidupan ini. Bahkan melalui keimanan pula kita akan memiliki semangat yang bertalu-talu untuk menggapai ridha dan ampunan-Nya serta surga-Nya yang luasnya seluas langit dan bumi.

Disadari bahwa alam realitas itu penuh onak dan duri yang karenanya membutuhkan energi perjuangan yang ekstra, atau terkadang jiwa kita mendapat kelesuan dalam menjalankan amanah kehidupan, maka betapa indahnya al-Qur’an menyarankan kita untuk saling menasehati dalam kesabaran. Jalan agar kita termasuk golongan kanan disebutkan al-Qur’an sebagai jalan yang mendaki lagi sukar, menuntut kita untuk bersabar menjalankan berbagai aktivitas dan amanah. Kata ‘saling’ di sini menunjukkan adanya timbal baik, sebab terkadang kita yang membutuhkan nasehat atau saudara kita yang membutuhkannya. Lafadz tawashou atau ‘saling memberi pesan/nasehat’ menunjukkan pula adanya saling memperhatikan dan saling mengingatkan untuk selalu berada di jalan dan petunjuk yang benar. Begitu pula dalam kehidupan publik ketika pemerintah bergeser dari idealisme atau menyimpang, perlulah masyarakat untuk tampil mengingatkan, begitu juga jika terjadi pekat (penyakit di masyarakat) pemerintah melalui kebijakannya yang mengikat dan dapat memaksa perlu untuk turun mengingatkan dan menghilangkan penyakit itu.

Kriteria terakhir dari golongan kanan ini adalah saling berpesan untuk berkasih sayang. Manusia sekejam apapun, jiwanya memiliki kebutuhan akan sentuhan kasih sayang. Kasih sayang adalah kebutuhan yang paling mendasar baik bagi kalangan anak-anak maupun usia dewasa. Mereka tidak dapat memungkiri akan kebutuhan jiwa untuk bersandar pada kasih sayang. Begitulah sesungguhnya Islam pun tidak mentolelir adanya ekstrimitas dan terorisme. Islam hadir ke muka bumi ini sebagai agama yang menyelamatkan dan penuh kasih sayang. Melalui kasih sayang inilah maka dakwah dapat diterima di kalangan yang luas. Pernah suatu ketika Rasulullah ditagih hutangnya oleh orang Yahudi di depan para sahabat. Caranya menagih pun tidak etis. Dia menagih Rasulullah dengan menarik sorban Rasulullah hingga membekas memar di leher Rasulullah. Lantas para sahabat pun bangkit dan marah. Tapi apa yang dilakukan Rasulullah? Beliau mencegah para sahabat untuk marah atau membunuhnya dan menasehati para sahabat agar si penagih hutang menagih dengan cara yang baik. Hingga si Yahudi itupun berkata, sesungguhnya aku hanya ingin menguji apakah ia benar sebagai nabi ataukah bukan. Jika ia nabi, tentu ia akan bersikap kasih saying dan lembut sekalipun dia dalam kondisi dipermalukan. Dan akhirnya, ia masuk Islam.

Bisa kita ambil hikmah dari ayat-ayat yang berkaitan dengan sejumlah besar manusia di akhir zaman yang masuk ke dalam golongan kanan itu adalah mereka yang mengaplikasikan lima pekerjaan di atas. Jika lima hal di atas dapat ditradisikan dari sekarang, maka format masa depan umat Islam dapat diprediksi lebih dekat, bahwa peradaban Islam akan tampil ke permukaan di muka bumi ini lebih cepat.

Jika diperhatikan lebih cermat, surat al-Balad yang memuat dua golongan kanan (ashhabul maimanah) dan golongan kiri (ashhabul masy’amah) ini, dapat dikatakan bahwa surat ini adalah surat yang menjelaskan komposisi sosiopolitik sebuah negeri. Bahwa di setiap negeri akan selalu terdapat dua golongan itu. Tinggal bagaimana kita memilih, apakah akan termasuk golongan kanan ataukah golongan kiri. Allohu a’lam.

Kekhilafahan di Akhir Zaman bagi Orang Beriman dan Mengerjakan Amal Sholeh
Janji lain yang menggembirakan bagi kita sebagaimana diinformasikan al-Qur’an mengenai kabar masa depan adalah janji akan terwujudnya kekhilafahan kembali bagi kita sebagaimana orang-orang terdahulu telah mendapatkannya. Allah berfirman:
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang pasik.
(QS. An-Nur: 55)

Keberadaan khilafah sangat penting bagi umat Islam bahkan bagi umat manusia di dunia ini. Semenjak khilafah Utsmaniyah tumbang pada tahun 1924 lalu di Turki, kondisi umat Islam di dunia semakin mengkhawatirkan. Umat Islam tidak lagi memiliki kekuasaan yang dapat melindungi umatnya dari rongrongan kekuasaan lain yang sangat hegemonic. Umat Islam tertinggal dan tersingkirkan di berbagai bidang kompetisi peradaban. Negara-negara adidaya pemenang Perang Dunia I dan Perang Dunia II kini menjadi pengendali dunia. Negara-negera kecil atau negera-negara Dunia Ketiga yang ingin bangkit saja dipermasalahkan. Banyak kasus ketertindasan Kaum Muslimin di berbagai belahan dunia yang tidak mendapat advokasi semestinya, alih-alih umat Islam tertuduh sebagai penyebar terorisme dunia.

Tanpa khilafah, Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin ‘cuma’ terasa di tataran wacana saja. Segala hal yang terkait dengan idealisme Islam terbatas dalam teks-teks dan sekedar nilai-nilai semata yang tidak mewujud di alam nyata. Imam Asy-Syatibi dalam kitab al-Muwafaqat menyebutkan lima hal yang fundamental (Adh-Dhoruriyatul Khamsah) dari kehadiran Islam ini, yakni hifdzud-din (menjaga agama), hifdzun-nafs (menjaga jiwa), hifdzul-aql (menjaga akal), hifdzun-nasal (menjaga keturunan), dan hifdzul-mal (menjaga harta). Pada dasarnya kelima hal yang primer ini dapat diwujudkan, terutama di tataran mikro dan makro, individu, keluarga, masyarakat, dan negara. Tapi dalam tataran makro global keummatan dan dunia, lima hal yang primer ini hanya menjadi wacana an sich. Semisal kejadian pengadilan gadis Muslimah di Perancis yang dilarang menggunakan jilbab tidak mendapatkan pembelaan yang semestinya. Umat Islam sedunia boleh marah dan demo ratusan ribu peserta aksi, tapi yang mengeksekusi kebijakan tetap saja pemerintah Perancis. Seandainya saja ada institusi Islam yang dapat mempengaruhi dan menegosiasikan kasus itu di level internasional secara mengikat dan bahkan dihormati dan disegani mungkin umat Islam hari ini akan mendapatkan kewibawaannya kembali.

Sebenarnya ijtihad Imam Asy-Syatibi memunculkan lima hal yang primer di atas dikondisikan oleh situasi dan lingkungan setempat. Pada masa itu khilafah tegak sehingga kelima hal tadi dapat disempurnakan oleh kekuasaan. Sekarang khilafah tidak ada, maka ketika melihat problem ummat yang tidak terlindungi tersebut perlu dicegah oleh pihak-pihak yang berkompeten, dan dalam tataran konsep di era sekarang ini maqoshid asy-syari’ah tadi perlu ditambahkan satu hal yang primer pula yakni hifdzul-ummah (menjaga ummat). Atas dasar pertimbangan demikian, selama khilafah belum berdiri, menjadi tugas bagi organisasi-organisasi Islam untuk dapat membela ummat dan membangun izzah-nya kembali.

Kalimat “bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa” menjadi janji Allah yang akan diwujudkan di masa depan kita. Tapi janji ini hanya akan diberikan jika kita memenuhi persyaratannya. Persyaratannya yaitu beriman dan beramal shaleh.

Yang dimaksud dengan beriman dan beramal shaleh dalam ayat ini bukanlah iman dan amal shaleh yang dipenuhi oleh diri sendiri secara tersendiri, melainkan secara kolektif. Sebab institusi kekhilafahan adalah institusi raksasa yang bersifat global, karenanya sangat dibutuhkan orang-orang beriman dan beramal shaleh dalam jumlah yang sangat signifikan. Jadi wajar saja jika kekhilafahan belum terbentuk sebab angka rasionalnya belum terpenuhi. Hal ini menjadi PR bagi kita untuk semakin giat berdakwah menebarkan dan mengenalkan Islam di berbagi sisinya baik keilmuan maupun akhlak dan lain sebagainya ke berbagai segmentasi masyarakat.

Yang perlu kita sadari juga, khilafah—begitu juga negara—bukanlah domain satu jamaah. Ia adalah institusi yang melibatkan banyak pihak di dalam tubuh umat Islam ini, sehingga mainstream yang dibangun adalah mainstream keummatan bukan keorganisasian jamaah satu kelompok. Oleh karena banyak pihak yang ikut terlibat dalam institusi global ini, maka mau tidak mau unsur toleransi terhadap berbagai perbedaan harus dikedepankan. Sikap baik yang perlu ditradisikan di kalangan umat kita saat ini adalah bekerja sama dalam hal-hal yang disepakati dan saling menghargai dalam hal-hal yang berbeda. Dengan sikap inilah kita bersatu dan bekerja sama secara harmonis.

Dengan demikian Umat ini harus mau belajar dan bekerja sama dengan orang yang berbeda dari kelompoknya demi kepentingan yang lebih besar di masa depan. Demikian pula kita dituntut untuk saling memahami logika-logika yang digunakan oleh setiap organisasi keislaman dan sejarahnya agar kita dapat menemukan titik-titk temu itu pada ruang temu yang lebih bermakna dan menghasilkan karya nyata yang lebih besar. Jika kita tidak terbiasa mempelajari perbedaan-perbedaan yang ada bisa jadi selamanya kita akan selalu saling mencurigai bahkan kita akan lebih bangga dengan diri kita sendiri, sehingga cita-cita besar itu semakin tertunda kehadirannya akibat sikap tidak positif yang dipelihara ini.

Al-Qur’an mensinyalir bahwa setiap kelompok akan membangga-banggakan golongannya sendiri, melalui firman-Nya:
Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhan-mu, maka bertakwalah kepada-Ku.
Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah-belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap kelompok merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).
Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu.
Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar. (QS. Al-Mukminun: 52-56)

Lalu Allah memberikan petunjuk pada kita untuk merekonstruksi diri akibat perpecahan umat yang terjadi ini dengan firman-Nya:
Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apa pun). Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. (QS. Al-Mukminun: 57-61)

Dalam ayat yang lain ditekankan perlunya kompetisi sehat yang berskala global dalam rangka menyelenggarakan proyek-proyek kebaikan (fastabiqul khairat). Untuk yang terakhir ini al-Qur’an mengingatkan jika mau berkompetisi dalam kebaikan maka berkompetisilah dengan visi peradaban sebagai satu Umat yang berkompetisi dengan umat lain di luar Islam.
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 148)

Duabelas Janji dalam Surat Kemenangan
Kekuasaan bisa jadi adalah salah satu bentuk indikator kemenangan kompetisi antar peradaban, sebagaimana yang termaktub dalam ayat-ayat di atas. Namun jika kita perhatikan dalam surat kemenangan atau surat al-Fath (48), bentuk-bentuk kemenangan Islam dipaparkan dengan 12 bentuk, yang satu sama lain saling melengkapi, dan jika lengkap akan menyempurnakan keindahan Islam di dunia dan akhirat.

Pertama, ampunan (2).
Ampunan Allah ini diberikan secara jelas pada hamba-hamba-Nya dan dipaparkan dalam pembukaan surat. Hal ini menunjukkan bahwa kemenangan yang paling mendasar dan vital adalah ketika seorang hamba kembali pada Rabb-nya yang Maha Pengampun. Dalam surah Saba dijelaskan indikator sebeuah negeri ideal dengan sebutan baldah thoyyibah wa Rabbun Ghafur. Dan Allah hanya akan memberikan ampunan pada hamba-hamba-Nya yang memenuhi syarat berikut:
Dan Aku akan Memberikan Ampunan kepada orang yang bertaubat, beriman, beramal shaleh, lalu ia mendapat petunjuk.

Kedua, hidayah (2).
Hidayah Allah berfungsi sebagai penerang pada jalan yang lurus (al-shirath al-mustaqim), dengan hidayah inilah manusia dapat percaya diri meyakini dan menjalani jalan kebenaran. Sebaliknya, tanpa hidayah, manusia selamanya akan dalam kegelapan dan kesesatan. Porak porandanya sebuah bangsa dan kebingungan mereka merekonstruksinya kembali jika tidak dibarengi dengan hidayah, sebagus apapun hasil perbaikan itu tetap akan menyisakan ketidaksempurnaan dan ketidakpuasan. Mereka yang berjuang tidak berangkat dari hidayah, akan mendapatkan kelelahan yang tiada berarti. Tapi seorang muslim yang berjihad dengan bekal hidayah, kelelahannyalah yang akan mengejar dirinya yang selalu bersemangat bertalu-talu.
Dengan demikian hal kedua dari bentuk kemenangan adalah mendapat hidayah.

Ketiga, pertolongan (3).
Pertolongan dalam sebuah proses perjuangan adalah satu hal yang sangat dibutuhkan. Melalui pertolongan akan didapatkan kemudahan-kemudahan dalam menggapai sesuatu. Terlebih jika pertolongan itu diisyaratkan al-Qur’an dengan istilah nashran ‘azizan atau pertolongan yang kuat. Dengan pertolongan yang kuat inilah kaum muslimin dapat menciptakan gelombang kemenangan yang sangat menakjubkan, bahkan membuat dacak kagum yang mengharu biru. Banyak kisah yang mengungkapkan bagaimana kaum muslimin dalam beberapa perjuangannya mendapat pertolongan yang tidak disangka-sangka. Melalui pertolongan inilah kemudian kemenangan mudah digapai.

Keempat, ketenangan (4).
Bentuk kemenangan juga adalah mendapatkan jiwa kita tenang atau istilah al-Qur’an sakinah. Bahasa al-Qur’an mengenai sakinah ini bersifat diturunkan (anzala sakinata fi qulubil mukminin) yang berarti ketenangan itu bersifat didatangkan setelah dan ketika memperjuangkan kebenaran secara kolektif. Ketenangan ini berfungsi untuk menambah keimanan yang telah didapatkan sebelumnya. Dengan bertambahnya keimanan energi perjuangan semakin bertambah kuat dan saat-saat tiba kemenangan itu insyaallah semakin didekatkan.

Jiwa-jiwa yang tenang sangat dibutuhkan untuk proses perjuangan yang membutuhkan energi kesabaran dan kejernihan rasionalitas. Bisa jadi tanpa ketenangan akan memicu kemarahan, yang segalanya menjadi mudah berantakan dan tidak lagi mengacu pada rencana yang telah disusun. Dengan ketenangan kita semakin dewasa menyikapi berbagai problematika, tidak reaktif apalagi sporadis. Jika anda perhatikan bagaimana para pengendali negara-negara maju itu mengendalikan negaranya, mereka tampil dengan tenang dan tidak mudah gusar. Di sinilah pentingnya jiwa yang tenang dan tidak emosional dalam memutuskan sebuah persoalan terlebih untuk persoalan-persoalan besar.

Kelima, masuk ke dalam surga (5).
Kemenangan yang paling didambakan kaum muslimin melalui berbagai sarana ibadah dan jihadnya sebenarnya adalah ingin masuk surga. Mereka beriman, berdakwah, beramal shaleh dengan aktivitas yang mashlahat dari aplikasi pemahaman agama, ilmu, serta teknologi adalah upaya untuk mendapatkan janji-Nya berupa surga yang abadi yang penuh kesenangan dan tidak akan didapatkan kelelahan sedikitpun. Mereka menahan hawa nafsu dan menyalurkan syahwatnya pada yang benar adalah bagian dari upaya menjaga diri agar kelak mendapat janji Allah berupa tempat yang menyenangkan di akhirat kelak. Kemenangan dengan cara masuk surga adalah indikator yang paling hakiki atas segala kemenangan dunia akhirat. Sebab di surga-Nya-lah kelak akan didapatkan keabdaian dan mudah dikabulkan dalam mendapatkan berbagai hal. Rasulullah telah menjamin sepuluh sahabatnya masuk ke dalam surga firdaus, kita pun berdo’a agar Allah memasukkan kita ke dalamnya.

Keenam, mengadzab kaum munafik dan musyrikin (6).
Perseteruan antara al-haq dan al-batil membelah manusia pada beberapa kelompok, mereka yang membela kebenaran dengan jujur, mereka yang membela kebenaran dengan tidak jujur, mereka yang melawan kebenaran dengan jujur, dan mereka yang melawan kebenaran dengan tidak jujur. Kemenangan berikutnya yang nyata menurut al-Qur’an adalah akan diazabnya kaum munafikin dan musyrikin. Dikatakan kemenangan karena hal ini merupakan bentuk dari pembalasan atas penyiksaan mereka terhadap kaum muslimin. Mereka akan mendapatkan giliran penyiksaan itu baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Ketujuh, diutusnya Rasulullah (9).
Diutusnya utusan-Nya pada kita adalah bentuk keberpihakan Allah pada kita. Hal ini berarti kehadiran Rasulullah merupakan bentuk kemenangan yang nyata yang telah Allah anugerahkan pada kaum muslimin dan umat manusia seluruhnya. Keberadaanya dapat dijadikan contoh bagaimana mengarungi kehidupan secara benar, mengelola oragnisasi secara benar, berinteraksi dengan banyak kalangan secara benar, berilmu dan berbisnis secara benar, dan lain-lain. Keberadaan utusan-Nya pada kita menandakan kebenaran berpihak pada kita. dengan segala hal apa yang disampaikannya meyakinkan kita untuk mengarungi perjuangan hidup sesuai petunjuk yang disampaikannya. Sebab dari para rasul-nyalah kepastian akan kebenaran bisa diukur.

Kedelapan, bai’ah para pengikut setia (10).
Bentuk kemenangan lain yang diberikan Allah adalah berbaiatnya orang-orang yang tersentuh dakwah Islam untuk totalitas mendukung, menyebarkan, dan menjaga Islam dan perjuangan Nabi Muhammad saw. Para sahabat yang berbaiat inilah yang menjadi batu-bata pertama yang menjadi fondasi piramida dakwah Islam. Tanpa mereka, mungkin gelar khairu ummah tidak akan pernah disandangkan pada ummat ini. Adanya kesetiaan dan dukungan kaum muslimin untuk memperjuangkan nilai-nilai rahmat Islam adalah kemenangan awal yang paling nyata.

Kesembilan, keridhaan (18).
Keridhaan Allah atas berbagai pekerjaan dan aktivitas kaum muslimin adalah bentuk dari kemenangan Islam juga. Tanpa ada keridhaan Allah segala perbuatan, selelah apapun dan sebesar apapun dana yang dikeluarkan menjadi sia-sia. Dengan kerdihaan Allah, tentu Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya berjalan tanpa arah yang jelas. Keridhaan Allah adalah penyemangat juang kaum muslimin. Oleh karena itu sudah selayakanya kita menyandarkan seluruh aktivitas kita hanya untuk mendapatkan keridhaan-Nya.

Kesepuluh, ghanimah (20).
Ungkapan ghanimah atau harta rampasan disebut dua kali. Bisa jadi hal ini merupakan bentuk balasan yang disegerakan. Sebab janji tersebut dapat dilihat secara kasat mata. Kemenangan yang bersifat material bukanlah hal yang tabu, hal itu adalah bentuk kewajaran. Namun yang perlu disadari bagi para pemenang adalah bahwa kemenangan material sesaat dapat menipu. Maka ketika kemenangan ini diberikan jangan kemudian terjadi perselisihan akibat pembagian, justru yang harus dikedepankan adalah itsar (mendahulukan saudaranya) dan zuhud (mementingkan akhirat). Ada adagium, orang zuhud itu adalah orang kaya yang dikejar dunia tapi ia juga meninggalkan dunia. Sedangkan orang miskin yang zuhud adalah mereka yang mengejar dunia tapi malah ditinggalkan dunia.

Kesebelas, fathul Makkah (27).
Kemenangan yang nyata yang Allah berikan pada Rasulullah adalah dibukanya Mekkah al-Mukarromah untuk Islam. Fathul Makkah ini menjadi tonggak sejarah bagi penyebaran Islam. Sebab pasca hijrah ke Madinah, selama Mekkah sebagai kiblatnya tidak futuh, selamanya negeri-negeri yang lain tidak akan dibukakan. Begitu juga Rasulullah mengatakan bahwa tidak ada hijrah setelah fathul Makkah. Itu artinya kaum muslimin sudah memiliki rumah sendiri dan menjadi pusat penyebaran Islam setelah memiliki Mekah dan Madinah, yang karenanya pengembangan Islam ke negeri-negeri lain bukanlah hijrah melainkan intisyarudda’wah (penyebaran/perluasan wilayah dakwah). Sebab itulah ia disebut sebagai pemenangan Islam.

Keduabelas, memenangkan Islam di atas agama yang lain (28).
Kemenangan yang paling tinggi adalah memenangkan Islam di atas agama-agama yang lainnya. Bentuk kemenangan ini merupakan kesadaran puncak bahwa Islam itu ya’lu walaa yu’laa ’alaih (tinggi dan tidak ada yang melebihi ketinggiannya). Islam menang dari berbagai sisi, baik sisi spiritual, sisi konseptual, sisi kepemimpinan, sisi sosial keummatannya, di bandingkan dengan peradaban yang lainnya. Begitu juga Islam menang dari sisi pembuktian ilmu pengetahuannya, bahkan Islam pun menang dari sisi kontribusi materialnya sekalipun dari pada peradaban yang lainnya. Islam lebih kontributif membawa manusia pada hakikat kesejatiannya di dunia dan akhirat.

Dari duabelas bentuk kemenangan yang dipaparkan a-Qur’an baru sebelas yang telah dibuktikan oleh sejarah. Tinggal satu kemenangan yang belum Allah berikan pada kita, yaitu “Kemenangan Islam di atas agama-agama yang lain”. Dalam buku The Adveture of Islam, Marshall Hoghston, seorang sejarawan yang jujur dan sangat ambisius untuk menuliskan sejarah dunia paling lengkap di dunia. Ia memulai riset dan menulis sejak berusia 19 tahun, dengan jujur dia menyatakan bahwa dirinya adalah seorang kristiani yang taat, namun dia mengakui kehebatan Islam. Menurutnya, setelah berpuluh-puluh tahun ia melakukan riset, di penghujung usianya, sebagaimana diakui dalam pembukaan buku itu, ia menyimpulkan bahwa sejarah dunia itu berputar. Dan putarannya itu berporos pada sejarah Islam. Dan sejarah Islam itu pun berputar yang berpusat pada satu pribadi, yakni pribadi Muhammad. Dan sesungguhnya pribadi Muhammad pun berpusat pada satu kekuatan, yaitu al-Qur’an yang dibawanya. Atas keyakinan yang kuat pada al-Qur’an-lah kaum Muslimin mampu menciptakan kegemilangan dalam sejarahnya. Bahkan sebenarnya mereka bereksodus ke belahan dunia lainnya hanya membawa satu kepercayaan diri sebagai the chosen people (khairu ummah).

Hari ini kaum muslimin tersingkirkan dari pusaran arus sejarah manusia. Kaum Muslimin berada di pinggiran panggung sejarah menatap manusia-manusia liberal mengendalikan kekuatan ekonomi politik dunia dan memainkan syahwat manusia pada jurang hiburan yang melenakan dan mematikan. Alam pikiran manusia pun terbelah pada cara pandangnya yang sekuler dan liberal. Manusia hanya meyakini bahwa alam ini tercipta dengan sendirinya tanpa kreasi cerdas Tuhan. Bahkan mereka berani mengatakan bahwa Tuhan telah mati. Para filosof pun menyatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui detil-detil penciptaannya, bahwa Dia tidak lagi mengurusi dunia atau pensiun setelah alam ini tercipta. Dll.

Kehadiran Islam adalah meluruskan kondisi yang ada. Sebab Islam membawa umat manusia pada jawaban-jawaban yang pasti dan membimbing manusia pada jalan yang benar. Mengajak pada penyembahan Tuhan yang Satu yang menciptakan alam semesta dengan sempurna tanpa bantuan. Menghilangkan gap antara kemiskinan dan kekayaan. Jika kondisi itu dibiarkan berlanjut maka kehancuran akan segera menimpa umat manusia dan semesta. Sebelum alam ini berakhir pada hari kiamat, maka Islam akan tampil memperbaiki kondisi yang ada. Itu artinya Kemenangan Islam adalah mutlak kehadirannya di masa depan. Oleh karena itu masa depan ada di tangan Islam adalah sebuah kepastian. Pertanyaannya kapankah hal itu terwujud?

Untuk menjawab masalah kapan, hal ini kita serahkan pada Allah karena termasuk masalah yang ghaib. Tapi yang perlu digarisbawahi adalah bahwa kemenangan Islam itu tidak akan mewujud jika syarat-syaratnya belum terpenuhi. Dan salah satu syaratnya adalah hadirnya manusia-manusia besar yang memiliki kapasitas yang layak untuk mengemban kemenangan Islam. Mengapa harus manusia berkapasitas besar? Sebab Kemenangan Islam tidak dapat diemban oleh orang-orang yang lemah. Karena agama ini sebenarnya adalah agama peradaban yang memuat pemahaman-pemahaman yang mendalam dan kaidah-kaidah yang keseluruhannya memungkinkan dunia ini dikelola dengan desain dan sistem yang terpadu dan kokoh yang melibatkan banyak pihak di dalamnya. Karena itu penyangga peradaban Islam ini hanya dapat ditanggung oleh generasi yang berkualitas.

Lantas, siapakah mereka yang dapat memenangkan Islam di muka bumi itu? Generasi yang seperti apa yang dapat mengemban kebesaran Islam itu? Apakah mereka manusia-manusia super ataukah mereka manusia biasa? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan dibahas dalam bab terakhir.

Monday, May 14, 2007

Merebut Masa Kini Dengan Setting Masa Depan

Merebut masa kini dengan setting masa depan adalah semangat inti yang mewarnai seluruh tulisan buku ini. Merebut masa kini berarti bahwa kita ingin hidup dan hadir di hari ini dan saat ini. Tidak hidup di masa lalu dan tidak pula hidup di alam mimpi. Kita ingin hidup exist sekarang, bukan adanya seperti tiadanya. Atau kepergiaannya tidak dihiraukan apalagi ditangisi, atau bahkan keberadanyaannya tidak diharapkan. Kita ingin bahwa hidup saat ini memberikan banyak manfaat pada kepentingan manusia sebanyak-banyaknya. Tapi mengapa seolah-olah kehidupan tidak berpihak pada kita, justru yang nampak di era masa kini dimanfaatkan dan dikendalikan oleh ‘orang lain’.

Dalam konteks peradaban, masa kini umat manusia telah direbut oleh Barat dan kekuatan-kekuatan kapitalisme. Umat Islam dan bangsa Indonesia sama sekali tidak exist. Yang terjadi malah lebih parah, umat Islam (dan bangsa ini) mengikuti kehendak Barat. Jika yang terjadi secara dominant demikian, maka hal ini adalah alamat tragedi bagi kemanusiaan. Lihat saja, permainan ekonomi dunia yang menggunakan ekonomi kapitalisme liberal, telah membawa manusia pada jurang kehancurannya. Yang kaya semakin kaya raya dan yang miskin semakin tersingkirkan. Dalam politik luar negeri pun demikian, negara-negara dunia ketiga tidak diperbolehkan menggunakan nuklir sekalipun untuk kebaikan dan damai. Tapi negara-negara kapitalis diperbolehkan menggunakan nuklir bahkan boleh mengancam negara-negara yang mengganggu kepentingannya di negara-negara kawasan. Hal ini sangat menyedihkan, terutama bagi umat Islam yang memiliki potensi kebaikan seharusnya tampil memimpin dunia ini kepada kebaikannya yang hakiki.

Kenyataan persoalan-persoalan umat Islam dan bangsa kita memang persoalan yang penting untuk kita renungkan, hal itu bukan berarti mengajak kita untuk meratapi lalu termenung, justru sebaliknya fenomena-fenomena itu harus memantik kita untuk mendiagnosanya secara cermat dan mengobatinya dengan sabar.

Sebagaimana dijelaskan dalam kata pengantar, tulisan ini adalah rangkaian tulisan tadabbur al-Qur’an yang menawarkan kita untuk bangkit melakukan perbaikan diri dan kolektivitas keummatan dan kebangsaan kita. Satu hal yang menjadi asumsi saya dalam membangkitkan potensi diri dan kolektivitas kita bukanlah berangkat dari permasalahan, ‘karena diri dan organ yang berangkat dari permasalahan itu sesungguhnya ia bermasalah’ ujar teman saya. Kita dapat bangkit kembali secara permanent bukan pula dari adanya common enemy (musuh bersama), sebab jika ternyata musuh itu berbalik menjadi kawan, pergerakan kita sudah tidak bersemangat lagi sebab musuh sudah tidak ada, bisa jadi lama-lama pergerakan akan terhenti. Yang membuat kita bangkit dan bergerak secara permanent dan herois adalah karena berangkat dari visi, cita-cita, dan tujuan. Rencana tentang masa depan itulah yang memicu kita bergairah dan berobsesi untuk selalu memacu diri mencapai finis masa depan yang kita gariskan. Persoalannya dari mana kita menyusun masa depan.

Teori Masa Depan
Memprediksi dan menyusun rencana masa depan dapat digali dari teori-teori berikut ini. Pertama masa depan terletak di Masa Depan itu sendiri. Kedua, masa depan terletak di Masa Lalu. Ketiga, masa depan terletak di Masa Kini, dan terakhir masa depan terletak di dalam al-Qur’an.

Terletak di Masa Depan (prediksionisme)
Teori Masa depan terletak di masa depan menyatakan bahwa kenyataan masa depan itu belum terjadi dan hanya akan terjadi pada saatnya kelak. Karena belum terjadi, maka masa depan itu terletak di masa depan itu sendiri. Untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan, alat ukur yang digunakan dari teori ini adalah melakukan prediksi. Dengan memprediksi, maka apa yang akan terjadi di masa depan dapat diduga.
Sebenarnya teori masa depan ada di masa depan ini adalah satu hal yang mutlak, namun persoalannya bagi kita yang ingin berjalan ke masa depan apakah hanya diam memprediksi apa yang akan terjadi? Yang kita inginkan bukanlah menjadi pengamat masa depan an sich lebih dari itu adalah menjadi pelaku di masa depan. Agar teori prediksionisme ini lebih aplikatif maka alat yang digunakan bagi para pelaku perubahan di masa depan adalah dengan melakukan perencanaan. Dengan menjalankan rencana maka sesuatu itu akan terjadi.

Memprediksi = Menduga/Mengetahui sesuatu di Masa Depan
Merencanakan = Mewujudnyatakan sesuatu di Masa Depan

Perencanaan adalah ilmu alat untuk lebih mendekatkan diri kita pada realitas masa depan. Walaupun kita tahu sebagai manusia yang lemah, bahwa apapun rencana kita, tapi Allah jualah yang menentukan. Allah berfirman, “tidak ada seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi esok hari” (QS. Lukman: 34). Ayat ini menjelaskan bahwa perencanaan apapun mengenai masa depan bersifat nisbi, bukan mutlak, yang mutlak hanyalah Allah.

Memprediksi maupun merencanakan sesuatu dua-duanya bersifat nisbi karena ia adalah upaya untuk menggapai masa depan. Yang perlu digarisbawahi dalam perumusan masa depan bagi umat dan diri kita adalah menyandarkan segala tujuan itu hanya pada Yang Mutlak. Dengan menyandarkan diri pada Yang Mutlak masa kini dan masa depan, maka kita mendapat pencerahan yang jelas, karena arahannya satu dan tidak bercabang-cabang. Dengan menentukan satu tujuan (Objective) maka segalanya dapat diarahkan pada tujuan itu secara terpadu.

Di dalam surat al-Insyiqaq ayat enam, Allah telah menjelaskan bahwa sesungguhnya semua manusia tengah menuju pada-Nya disadari ataupun tidak. Bagi yang menyadarinya maka ia harus bersungguh-sungguh menyandarkan diri dan perencanaannya hanya pada-Nya, menuju-Nya, dan menjalankan dengan cara yang diinginkan-Nya.

Allah menginformasikan, “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS. Al-Insyiqaq: 6).

Perencanaan membangkitkan umat dan bangsa harus disadari dalam rangka menuju dan karena-Nya. Dengan menyandarkan pada-Nya maka seluruh aktivitas menuju masa depan harus mengikuti alur yang telah dirumuskan dalam syari’ah(jalan)-Nya.

Bagi yang tidak menyandarkan diri pada dan menuju-Nya, maka ia akan mengalami apa yang digambarkan al-Qur’an sebagai berikut:
Dan barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka dia bagaikan jatuh dari langit, lalu disambar burung, atau dihempas angin ke tempat yang jauh. (QS. Al-Hajj: 31)

Orang yang tidak memiliki orientasi ketuhanan, ia akan selalu kebingungan, sering terombang-ambing, dan tidak ada tempat mengadu yang hakiki atas segala persoalannya, maka ia menjadi mudah goyah dan putus asa. Jadi, memprediksi masa depan dan merencanakan diri dan umat ke masa depan harus dengan mengikuti jalan dan informasi-informasi yang dikabarkan Tuhannya melalui perantaraan wayhu dan para utusan-Nya.

Terletak di Masa Lalu (romantisme)
Orang-orang Barat jika ingin mengetahui nasib sebuah bangsa di masa depan maka ia akan mempelajari masa lalu bangsa itu. Dengan mendeteksi fakta-fakta yang telah terjadi pada bangsa dan komunitas itu, dengan mudah dapat diduga akan seperti apa nasib bangsa itu di masa depan. Karenanya mereka sangat kuat penjagaan data-data dan arsip-arsip sejarah bangsa-bangsa. Karenanya juga mereka lebih mengenal bangsa itu melebihi para penduduk bangsa itu sendiri. Penduduk sebagai pelaku, biasanya abai terhadap apa-apa yang telah dilakukan oleh kaumnya sebelumnya, karena bagi mereka yang penting adalah hari ini dan esok hari. Tapi bagi kalangan orang-orang yang memiliki kepentingan politik, untuk menghegemoni suatu bangsa, mereka membaca ‘tubuh’ bangsa itu secara komprehensif dari masa lalu hingga masa ia hidup.

Dengan membaca masa lalu akan didapatkan keterangan-keterangan yang berharga, setidaknya dalam dua hal yakni: sesuatu yang tetap dan yang berubah-ubah. Karakter apa yang tetap pada bangsa itu dan pola-pola apa yang dapat berubah pada bangsa itu akan disikapi secara berbeda. Dengan mengetahui data-data pasti apa yang terjadi di masa lalu, mereka dapat melakukan intervensi sosial, ekonomi, politik, budaya, dan pemikiran dengan caranya yang kreatif. Seperti misalnya, apakah bangsa Indonesia adalah bangsa yang disiplin, jika ya maka pendekatannya adalah pendekatan formal. Sebaliknya jika bangsa Indonesia adalah bangsa penurut dan tidak efisien, maka ia akan dijajah dengan cara harus tunduk pada aturan mereka.

Teori masa depan terletak di masa lalu, cukup banyak digunakan dalam berbagai kesempatan baik dalam proses perencanaan diri maupun perencanaan organisasi dan negara. Dalam merencanakan diri, sebelum merumuskan visi yang ideal, maka perlu membaca sejarah diri terlebih dahulu agar ketika cita-cita ideal itu tidak tercapai tidak jatuh dengan keras. Makanya dengan membaca sejarah diri menjadikan diri kita lebih arif dan lebih realistis.

Bagitu pula dalam upaya membangkitkan umat yang sempat berjaya selama seribu tahun memimpin dunia, tapi karena pergerakan peradabannya mengalami deklinasi selama seratus tahun lebih, maka upaya penyehatannya tidak bisa satu dua tahun, perlu ada jangka waktu tertentu untuk mengalami terapi dan uji coba pengobatan.

Teori masa depan terletak di masa lalu ini disebutkan juga di dalam al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 18 berikut ini:
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa-apa yang telah dipersiapkan untuk esok, dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hasyr: 18)

Ayat ini menganjurkan kita untuk melihat masa lalu yang sudah terjadi atau yang disiapkan untuk menuju masa depan. Dengan menganalisasi masa lalu akan didapat bagaimana format masa depan bangsa ini. Tapi jika kita tela’ah lebih lanjut penggunaan lafdziyah pada ayat ini, akan ditemukan bahwa ‘memperhatikan’ atau ‘melihat’ masa lalu itu tidak menggunakan lafadz ra’a (melihat), tetapi nadhara yang di antara varibel katanya adalah an-nadhariyah atau dalam bahasa kita diartikan teori. Lafadz nadhara adalah lafadz yang berarti melakukan teoritisasi. Jadi yang diperintahkan di dalam ayat ini adalah melakukan teoritisasi sejarah. Dengan melakukan analisis atau teoritisasi sejarah akan diketemukan tingkat kemampuan bangsa atau umat ini untuk bangkit kembali. Maka dari sanalah sejarah masa depan akan terbentuk.

Di sisi lain ayat ini juga memerintahkan kita untuk melakukan perencanaan diri menuju masa depan itu. Sebab masa depan itu hanya akan ditemui oleh para pelaku jika ia merencanakan diri. Jadi masa depan sebetulnya adalah kumpulan perencanaan yang mengalami kesepakatan-kesepakatan, benturan-benturan, dan kompromi-kompromi. Ustadz Anis Matta mengatakan jika memperhatikan secara seksama, “bahwa ayat pendek ini diapit oleh dua perintah bertaqwa dua kali, itu artinya bahwa ekspresi terkuat dari ketaqwaan adalah merencanakan diri.”

Terletak di Masa Kini
Madzhab yang mengatakan bahwa masa depan terletak di masa kini adalah madzhab realis. Yakni bahwa masa depan yang kita bicarakan itu adalah masa kini itu sendiri. Juga yang dimaksud dalam pandangan masa depan terletak di masa kini itu adalah bahwa apa yang dilakukan di masa kini akan berdampak pada realitas yang akan berkembang kemudian di masa depan. Tradisi yang diujicobakan saat ini lama kelamaan akan menjadi karakter yang terbawa-bawa hingga ke masa depan. Kenyataannya memang demikian, karena jika pun kita memiliki rencana yang teratur rapi dan sistematis jika tidak diaplikasikan rencana itu tidak akan mewujud nyata. Oleh karena itu, perencanaan di masa depan sangat ditentukan oleh kenyataan hari ini.

Teori masa depan terletak di masa kini menjelaskan bahwa apa yang terjadi di masa depan tergantung dengan usaha kita saat ini. Ustadz Hasan al-Banna mengatakan bahwa hari ini adalah hasil dari mimpi kita kemarin, dan masa depan adalah hasil mimpi kita sekarang. Persoalannya apakah kita memimpikan sesuatu yang akan terjadi di masa depan dan bekerja penuh untuk mewujudkannya. Maka jawabannya jika kita bermimpi dan bekerja, masa depan akan terbentuk oleh kenyataan hari ini. Demikianlah bagi mereka yang menjalankan hidup dengan visi besar dan perencanaan, ia akan menjalankan hari-harinya dengan bermakna. Dan dia akan selalu waspada jika apa yang sudah direncanakan itu akan mengalami kegagalan. Oleh karenanya mereka yang menjalani hidup hari ini-nya dengan penuh makna akan menkimati proses dan perjuangan yang berliku. Dan karenanya pula ia harus bersabar menjalankan proses itu.

Allah berfirman,
Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu. Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman akan melihat pekerjaanmu. Dan kamu akan dikembalikan kepada yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata; maka Dia akan memberitakan kepadamu tentang apa yang kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah: 105)

Berkenaan dengan ayat di atas, yang terpenting bagi kita sebagai makhluk yang tidak tahu kapan jadwal ajal tiba adalah bekerja dan bekerja, beramal dan beramal. Dan amal yang kita kerjakan bukanlah amal yang sia-sia melainkan amal yang memiliki nilai yang unggul. Nilai yang unggul ini sebenarnya bisa karena banyak faktor, di antaranya adalah niat (visi) maupun kualitas kerja dan manfaatnya itu sendiri.

Kerja yang visioner mungkin dapat kita ambil contoh tentang tiga orang badui Mesir di zaman kuno yang tengah mengangkat batu. Ketiga-tiganya mengangkat batu yang sama beratnya dengan keringat yang sama derasnya. Tapi ketika ditanya, tampak perbedaan niat atau visi kerjanya, dan dari sinilah justru kualitas nilainya dapat diperhitungkan. Coba perhatikan bagaimana mereka menjawab pertanyaan yang sama ini:
“Apa yang sedang anda kerjakan wahai budak?”
Budak pertama menjawab, “Apa kamu tidak melihat saya sedang kelelahan mengangkat batu berat ini?”
Setelah budak pertama lewat, budak kedua ditanya lalu dia menjawab, “Aku sedang membangun piramida.”
Lalu, budak ketiga ditanya juga setelah budak kedua lewat, dia menjawab begini, “Aku sedang membangun peradaban Mesir.”
Coba bandingkan, dari satu pekerjaan yang sama ditanya dengan pertanyaan yang sama tapi dijawab dengan jawaban yang menunjukkan kualitas yang berbeda. Kira-kira mana budak yang visioner dan sangat memaknai hidup hari-harinya itu? Saya yakin anda bisa menjawab dengan cerdas.
Jadi, masa depan terletak di masa kini erat kaitannya dengan visi dan impian kita serta usaha kita untuk mewujudkannya, sesederhana apapun yang kita lakukan ia akan berdampak kepada alam masa depan kita.

Terletak dalam al-Qur’an
Terakhir, setelah kita mengetahui masa depan terletak di tiga masa: lalu, kini, dan esok, kita perlu meyakini bahwa masa depan juga terletak di dalam al-Qur’an. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ayat-ayat yang ber-asbabun nuzul, konon mengisyaratkan akan terjadi pengulangan dalam alam kenyataan di masa kini dan masa depan. Sejauh mana tingkat kebenaran proposisi ini perlu ada riset yang dilakukan untuk mendeteksi ‘pengulangan’ kejadian itu dalam rentang 1400 tahun pasca wahyu turun. Allahu a’lam. Yang jelas masalah masa depan dan kaitannya dengan asbabunnuzul ini termasuk masalah yang ghaib.

Yang dimaksud dengan masa depan terletak dalam al-Qur’an adalah bahwa al-Qur’an merupakan firman Allah yang dijadikan sebagai petunjuk bagi semua manusia. Dari zaman Nabi Muhammad saw. diutus hingga umatnya di akhir zaman al-Qur’an akan selalu relevan dan menjadi panduan yang dapat membimbing manusia pada jalan kebenaran. Di dalam al-Qur’an juga termaktub informasi-informasi bersejarah, fakta informasi al-Qur’an menginformasikan kekalahan dan kemenangan Romawi dijelaskan dalam surat ar-Rum, dan itu semua disaksikan sendiri oleh para sahabat Nabi.

Dalam konteks kita sebagai umatnya di akhir zaman, apa yang diinformasikan dalam al-Qur’an sesungguhnya adalah informasi berharga dalam merekayasa masa depan. Bisa jadi ayat-ayat yang dikatakan ayat masa depan itu karena keterbatasan manusia memahaminya, seperti langit ini bagaikan bunga mawar yang merah, di masa lalu tidak dapat dipahami, tapi di era sekarang baru diketemukan dengan teknologi astronomi yang canggih. Begitu juga dalam aspek historis dan empirikal kehidupan manusia. Al-Qur’an mengabarkan bahwa goncangan alam dan kerusakan lainnya adalah diakibatkan oleh tangan-tangan manusia, dan kabar-kabar lain yang jika diteoritisasi ayat-ayat itu akan ditemukan fakta bahwa al-Qur’an menjadi pembimbing yang paling relevan untuk pengembangan umat manusia di masa yang akan datang.

Berkenaan dengan proyek peradaban di masa yang akan datang yang akan dihadirkan oleh umat Islam, sesungguhnya al-Qur’an telah mengabarkannya empatbelas abad yang lalu. Namun bisa jadi dalam kondisi kita yang belum melihatnya secara kasat mata maka hal itu menjadi bab keyakinan tersendiri bagi kita: tinggal apakah kita meyakininya ataukah tidak, lalu bagaimana kita mewujudkannya. Begitulah gaya al-Qur’an menghendaki agar kita bekerja dan merancang kebangkitan umat ini dengan kehendak al-Qur’an. Seperti kabar gembira bagi kaum muslimin dan umat manusia bahwa masa depan muka bumi ini akan diwariskan pada orang-orang shaleh sebagaimana termaktub di dalam surat al-Anbiya’ ayat 105:
Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam Az-Zikr (Lauh Mahfuz), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.
(QS. Al-Anbiya’: 105)
Dalam ayat ini diisyaratkan tentang realitas masa depan bahwa muka bumi akan kembali dipimpin oleh orang-orang saleh yakni kaum muslimin. Melalui kabar ini, al-Qur’an menghendaki agar kita menyambutnya dengan gembira dengan menyiapkan diri menyongsong masa depan yang cerah bahwa esok hari adalah hari-hari kepemimpinan kaum muslimin. Bahwa peradaban dunia ini akan disokogurui oleh peradaban Islam.

Urgensi Planning dan Filosofinya
Melalui kabar gembira yang disampaikan al-Qur’an tadi, maka kewajiban kita adalah merencanakan dengan cermat kebangkitan Islam itu agar kebangkitannya bukanlah kebangkitan sesaat. Yang kita inginkan bukanlah tampil sekejap dan murung kembali akibat gertakan peradaban kapitalisme, melainkan tampil dengan performance yang sempurna dan dihargai oleh peradaban lainnya. Maka dari itu sedari awal rencana kebangkitan ini bukanlah karena trend melainkan karena perencanaan.

Pentingnya perencanaan bagi kita adalah agar kita mendapatkan panduan yang sistematis dalam melalui fase-fase kehidupan. Kehidupan tanpa rencana bisa-bisa dijebak oleh mereka yang memiliki rencana. Jika kita ingin menjadi pelaku maka mau tidak mau kitalah yang merencanakan bukan kita dimakan rencana orang lain.

Dalam konteks individual dan kolektivitas kita, perencanaan disusun bukanlah sekedar untuk agenda sehari dua hari, melainkan merencanakan dalam skala yang lebih besar dan berjangka panjang. Sehingga peristilahan yang digunakan adalah rencana strategis atau Renstra. Pentingnya menyusun dalam jangka panjang agar kita dapat bergerak di wahana yang lebih luas. Kaum muslimin sebenarnya diperintahkan Allah agar memiliki visi yang besar dan bersifat internasional, dengan visi besar ini memungkinkan kita memiliki langkah yang strategis dan tidak mudah pragmatis. Oleh karenanya kita akan menjadi hamba-hamba-Nya yang sabar mengarungi kehidupan, sebab landasan dasarnya adalah karena kita menjadikan diri kita sebagai bagian dari strategi perubahan itu. Sebagaimana dalam firman-Nya:
Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhan-mu.” Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS. Az-Zumar: 10)

Secara ideologis perlunya landasan rencana strategis ini dirancang berangkat dari ayat yang menjadi teori aksioma perubahan, bahwa “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum sehingga kaum itu mengubah apa yang ada di dalam dirinya”. Ayat ini menjadi landasan bagi fiqh taghyir (fiqh perubahan), bahwa untuk melakukan perubahan diperlukan perencanaan yang sistematis.

Secara definitif, teori kedua aksioma perencanaan perubahan itu harus berangkat dari visi besar yang dibangun di masa yang akan datang dengan berangkat dari kontinuitas sejarah yang panjang. Perencanaan strategis dalam pandangan Islam adalah bagian dari ekspresi terkuat sebuah ketakwaan. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah pada Allah dan hendaklah setiap diri menganalisa masa lalunya untuk merancang masa depan, dan bertakwalah pada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)

Katakanlah bahwa masa depan itu adalah terbentuknya masyarakat Rabbani, madani, adil dan sejahtera. Dalam konteks Islam bentuk masyarakat ideal tersebut bersifat given, diberikan dari Allah, bukan hasil perabaan manusia. Maka gambaran tentang masyarakat ideal tersebut di masa depan harus dirujuk pada format yang Allah kehendaki. Al-Qur’an mengabarkan format itu melalui dua teori yakni teori masa depan ada di masa lalu dan di dalam al-Qur’an, kedua-duanya termaktub jelas sebagaimana pujian Allah terhadap negeri Saba yang dikenal dengan sebutan baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur atau negeri yang baik dan Tuhanpun mengampuni. (QS. Saba’: 15).

Tergambar dari ayat ini bahwa format masyarakat Rabbani, madani, adil dan sejahtera itu memiliki keterpaduan dan keseimbangan antara alam material dan spiritual yang dikelola dengan baik (thoyyibah) dalam bingkai aturan-Nya (syari’ah) sehingga Dia memberikan ampunan pada penduduk tersebut. Maka, tergambar karakter dan syarat-syarat pembentukkan masyarakat seperti di atas bahwa masyarakat ideal tadi adalah masyarakat berpengetahuan (‘ilm), masyarakat yang produktif (muntijah), dan masyarakat yang professional (itqan), sehingga layak bagi Allah memberikan pada mereka kesejahteraan yang melimpah di dunia dan janji yang lebih baik di akhirat kelak.

Dambaan kita adalah menjadikan negeri Indonesia ini dan negeri-negeri kaum muslimin sedunia sebagai negeri yang disebut al-Qur’an: baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur. Kita menginginkan agar masyarakat kita diatur Allah dan mendapatkan kemelimpahan berupa kesejahteraan material dan kenikmatan spiritual. Untuk mendapatkan hal itu semua, sesuai dengan teori aksioma pertama, maka usaha hamba-hamba-Nya untuk mencapai ke sana harus dilakukan terlebih dahulu. Jika kita berupaya, janji Allah sudah sangat jelas:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf: 96)

Bisa dibayangkan, bagaimana kita mendapat keberlimpahan yang luar biasa dan di mana-mana, sudah barang tentu kita akan bersyukur dan menambah selalu kesyukuran kita pada-Nya. Namun cita-cita mendapatkan itu semua pada kenyataannya membutuhkan proses. Dan melalui berproses itulah kita dituntut untuk selalu sabar menuju tujuan kita yang telah kita gariskan tadi. Baik berproses maupun bercita-cita, kedua-duanya perlu dirancang dalam sebuah perencanaan. Di sinilah pentingnya rencana, bahwa dengan perencanaan, kita bergerak dengan kesadaran dan kehidupan yang kaya makna.

Delapan Sikap Berdialektika dengan Planning
Setelah kita merencanakan sesuatu, baik dalam konteks pribadi maupun kolektivitas institusi kita, maka saya menyarankan agar kita memegang delapan sikap berdialektika dengan perencanaan. Berikut sikap-sikap itu:

Pertama, tidak ada seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi esok
Mihwar (fase) gerakan yang dirancang gerakan, organisasi, lembaga, jamaah, partai, maupun Negara adalah bentuk perencanaan strategis pengembangan dirinya dengan melakukan prediksi-prediksi masa depan sesuai dengan kapasitas institusi yang dimilikinya. Allah berfirman, “tidak ada seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi esok hari” (QS. Lukman: 34). Ayat ini menjelaskan bahwa perencanaan apapun mengenai masa depan bersifat nisbi, bukan mutlak, yang mutlak hanyalah Allah. Sehingga kita mamahami mihwar institusi ini dalam kerangka yang dialekstis. Sebab perencanaan itu pada implementasinya di lapangan akan mengalami proses analisa kondisi, perhitungan resiko, pertimbangan-pertimbangan, kesepakatan-kesepakatan, negosiasi, dan perubahan-perubahan.

Kedua, keyakinan adanya sunnah pergiliran peradaban
Allah telah menjanjikan bahwa kaum beriman dan beramal shaleh akan mendapatkan kejayaannya kembali setelah dipergilirkan masa-masa kejayaan itu pada peradaban manusia lainnya. “… dan masa (Kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)…” (QS. Ali Imran: 140). Namun keyakinan ini tidaklah akan mewujud nyata pada peradaban Islam kontemporer jika umatnya sendiri tidak memenuhi persyaratan-persayatan yang dibutuhkan dalam memenangkan kompetisi peradaban. Maka kerja-kerja yang signifikan setelah dilakukan perencanaan adalah memenuhi persyaratan-persyaratan itu dan sekaligus meningkatkan kapasitas diri dan supporting system-nya.

Ketiga, keyakinan adanya sunnah pergantian masyarakat
Dalam konteks mikro al-Qur’an banyak mengungkapkan fenomena di masa lalu yang kemudian akan menjadi ibrah di masa mendatang dengan akan terjadi pergantian penghuni negeri. Mungkin regenerasi adalah suatu hal yang natural bagi masyarakat dan peradabannya. Namun jika merujuk pada ayat ini: “… dan jika kamu berpaling, Dia akan menggantikan (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini).” (QS. Muhammad: 38) kita akan meyakini bahwa masyarakat yang lebih baik akan lahir, dengan izin Allah, menggantikan masyarakat sebelumnya. Tetapi juga ayat ini mengisyaratkan, sesungguhnya proses pergantian masyarakat itu sangat tergantung pada kualitas keimanan dan keshalihan kita sendiri, apakah kita adalah generasi yang akan menggantikan masyarakat sebelumnya ataukah justru kita yang digantikan Allah. Hal ini semua ditimbang dalam sebuah ketentuan dan batas-batas bahwa, pergantian itu terjadi jika kita dan masyarakat kita berpaling dari Allah.

Keempat, perubahan itu harus dari diri masyarakat terlebih dahulu
Melakukan perubahan sosial tidak bisa selesai dengan menunggu burung ababil yang dikirim Allah untuk menyelamatkan masyarakat dari serangan luar dan hanya berpangku tangan tanpa melakukan perbaikan-perbaikan. Masa-masa keajaiban itu bersifat ghaib dan kita menyerahkannya pada Allah. Dalam alam pikiran rasionalitas kita, secara logis Allah menegaskan sebuah hukum alam (sunnatullah) bahwa “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sebuah kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’ad: 11). Ayat ini dengan jelas menuntut segala potensi yang kita miliki untuk melakukan perubahan, jika kita telah bergerak maka Allah pun akan membantu perubahan itu.

Kelima, perubahan itu harus direncanakan
Ketidaktahuan kita akan esok hari, bukan berarti kita tidak boleh melakukan perencanaan masa depan kita. Justru dalam memenangkan kompetisi kehidupan dibutuhkan perencanaan yang matang. Perencanaan adalah bagian pertama dalam amal. Dengan merencanakan maka kita mendapat panduan dan gambaran arah ke mana kita bergerak. Allah menginformasikan, “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemuinya.” (QS. Al-Insyiqaq: 6). Lafadz “kadihun-kadhan” berarti kerja keras yang memiliki nilai expert, yakni kerja yang sungguh-sungguh luar biasa. Kerja ekstra itu ditujukan untuk menemui Realitas Obyektif, Allah swt. Pekerjaan itu sendiri adalah kerja-kerja ‘ubudiyah dan khilafah, dan keduanya menuntut implementasi yang terencana. Dalam proses perencanaan ini pun harus kita sandarkan pada ketakwaan kita pada Allah. (QS. Al-Hasyr: 18)

Keenam, perubahan itu bertahap dan kontinue
Perlu diingat bahwa perencanaan itu tidak serta merta dapat diimplemetasikan dengan tidak melihat realitas di lapangan. Di lapangan akan kita temukan orang-orang yang berbeda dalam memahami sesuatu. Proses memberikan pemahaman itu pun terkadang harus disampaikan secara bertahap sesuai logika yang dapat dicerna oleh kader pada saat itu. Dalam logika struktur gerakan, masing-masing daerah memiliki prioritas-prioritas dalam menyelesaikan masalahnya. Maka pada tataran level organisasi, sebuah rencana akan mengalami penyesuaian-penyesuaian dan penerjemahan-penerjemahan mulai dari nilai-nilai idealismenya, gagasan dan ide konsepsionalnya, serta program-program strategisnya, hingga operasional teknisnya. Bahkan dalam tahap perubahan itu sendiri dibutuhkan kepekaan dan kearifan lokal, sebab sudah menjadi kebijakan Allah bahwa masing-masing memiliki kondisi yang berbeda dan pemahaman yang berjenjang. “pasti kamu akan melewati tingkatan demi tingkatan” (QS. Al-Insyiqaq: 19). Maka sosialisasi sebuah ide dan gagasan harus dilakukan sebaik mungkin, sebab di interaksi dengan komunitas masyarakat yang homogen lebih mudah daripada masyarakat yang heterogen. Ayat di atas juga mengisyaratkan bahwa fase-fase perjuangan itu harus bersifat kontinyuitas. Tahap yang satu menjadi fondasi bagi tahap setelahnya. Begitu juga sebaliknya, tahap yang satu itu adalah prolog bagi tahap pengembangan berikutnya.

Ketujuh, momen-momen kemenangan itu melibatkan Allah
Banyak al-Qur’an mengungkapkan bahwa di momen-momen perjuangan dan kemenangan itu Allah selalu terlibat. Dalam surah al-Anfal ayat 17 dijelaskan bahwa, “Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Maka selalulah berpegang teguh pada tali Allah dan tidak berbangga diri, sebab ketentun Allah lebih besar dari perencanaan yang kita buat sebagus apapun design-nya.

Kedelapan, bekerjalah di medan amal
Pada akhirnya sebuah rencana bagaimana pun juga hanya akan menjadi goretan hitam di atas putih jika tidak diamalkan. Maka mengaplikasikan rencana itu adalah bagian dari proses penyelamatan umat dan pencapaian cita-cita Islam. Dalam kondisi apapun dan di manapun kita berada, maka bekerjalah secara proporsional dan manhaji. Beramal bukan berarti menunggu orang lain menyoroti kita terlebih dahulu, tapi beramallah seikhlasnya. Dengan beramal akan tercapai keberkahan, sebaliknya, Allah memperingatkan kita, melalui ayat ini, “Amat besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang tiada kamu kerjakan.” (QS.Ash-Shaff: 3)

Memiliki visi dan obsesi besar sebagai Khairu Ummah
Pendahuluan ini tampak panjang dan mungkin terlalu abstrak karena banyak teori yang diberikan. Sebenarnya kumpulan tulisan tadabbur al-Qur’an ini adalah dalam rangka membangun visi dan obsesi besar sebagai khairu ummah dalam diri kita dan alam lembaga yang diamanahkan pada kita sehingga dibutuhkan banyak teori dan konsep dasar yang menjadi pijakan pergerakannya. Menjadi umat yang terbaik bagi umat Islam saat ini mun.gkin tampaknya pesimistis untuk sebagian orang, tapi jika kita menguatkan kembali konsep keimanan kita, tidak layak bagi kita untuk merasa inferior: Kita harus bangkit bersama dengan visi peradaban yang mulia.
Allah berfirman:
Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman. (QS. Ali Imran: 139)
Para cendekiawan muslim mengatakan bahwa di setiap kebangkitan, selalu diawali dengan kebangkitan ilmu. Upaya menggali informasi yang termaktub dalam al-Qur’an ini adalah sebagian dari pencarian pengetahuan yang Allah berikan pada kita agar kita selalu percaya diri untuk bangkit menyongsong masa depan yang mulia. Ketahuilah bukan saja segolongan kaum muslimin yang ditunggu umatnya tampil menjadi pemimpin dunia, tetapi juga mayoritas manusia menghendaki adanya peradaban yang tampil memimpin dunia ini ke arahnya yang benar. Dan kita yakin bahwa peradaban Islam membimbing ke jalan benar itu.

Mengapa Nabi Sulaiman
Bukanlah keharusan kita menentukan satu dua figur untuk kita ikuti, sebab dalam Islam, semua nabi adalah nabi-nabi kaum muslimin. Dan mereka semua adalah qudwah yang harus diteladani kaum muslimin di mana dan kapan pun mereka berada. Mengapa nabi Sulaiman dijadikan sentral pembicaraan dalam tadabbur ini? Tiada alasan yang mendasari saya mengambil figur nabi Sulaiman, selain karena sosok pribadi beliau dan kerajaannya mencerminkan spirit yang obsesif yang sangat relevan dengan realitas kita saat ini yang mencita-citakan terwujudnya khilafah Islamiyah di masa yang akan datang sebagai struktur penyangga peradaban Islam di muka bumi ini dan menjadi sokoguru peradaban bagi peradaban-peradaban manusia lainnya.
Sesuai teori-teori Masa Depan yang dibahas di awal tadi, setting tradisi keunggulan Nabi Sulaiman di Masa Lalu yang dikabarkan di dalam Al-Qur’an ini adalah cerminan Masa Depan yang akan digapai. Maka atas dasar pemikiran ini, kita perlu mempelajari struktur dan skema pembangunan masa depan yang digambarkan al-Qur’an melalui setting tradisi nabi Sulaiman a.s. ini serta dikontekstualisasikan dengan upaya pencapaiannya di masa kini. Di sinilah kemudian logika ‘Merebut Masa Kini dengan Setting Masa Depan’ dapat kita terapkan, yakni mendesain diri dan umat hari ini dengan setting Masa Depan yang tergambarkan dari al-Qur’an dan pengalaman masa lalu sejarah kejayaan umat terdahulu.

Nabi Sulaiman a.s adalah raja kaum Bani Israel setelah Nabi Daud a.s. yang mendapatkan kesuksesan di berbagai segi dan sektor kehidupan secara signifikan. Al-Qur’an banyak mengelaborasi keajaiban-keajaiban yang ditampakkan di masanya. Keunikan lain yang tampak dari Nabi Sulaiman ini adalah pemberian Allah yang tidak tanggung-tanggung pada hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh serta mengoptimalisasi sumber daya yang diamanahkan padanya dengan sebaik-baiknya.

Maka atas dasar pemikiran itu, saya mengajak anda semua untuk menelusuri bagaimana kita dapat bangkit dengan obsesi Rabbani dengan diawali tadabbur al-Qur’an terlebih dahulu agar kita menjadi sebaik-baik hamba-Nya dan hamba yang taat, sebagaimana Nabi Sulaiman yang semula terpuruk lalu bertaubat dan bangkit dengan penuh gairah melakukan perubahan hingga Allah menyebutnya…Dia adalah sebaik-baik hamba. Sungguh dia sangat taat (kepada Allah). (QS. Shad: 30)

KIAT HIDUP BERSAMA AL-QUR'AN

MUQADDIMAH

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, kepada keluarga juga para sahabatnya. wa ba'du.

Sudah menjadi tradisi di kalangan umat Islam ketika memasuki bulan Ramadhan dan musim-musim kebaikan lainnya menghabiskan sebagian banyak waktunya di hadapan mushaf untuk bersungguh-sungguh dalam membaca Al-Qur'an dan mengkhatamkannya berulang kali, bahkan saling berlomba-lomba untuk mengkhatamkan sebanyak-banyaknya.

Tidak diragukan lagi gejala seperti ini mengandung tujuan yang positif dari beberapa seginya, misalnya: perhatian kaum muslimin terhadap kitab suci mereka, kecintaan dan keterikatan mereka terhadapnya, akan tetapi sangat disayangkan sekali yang menjadi pusat perhatian mereka hanya terpaku pada huruf-huruf dan lafadz Al-Qur'an saja, tanpa memahami isi serta makna lafadz tersebut, yang bisa menjadikan seseorang istiqomah terhadap perintah-perintah Allah dan berpegang teguh di jalan-Nya yang lurus. Sebagaimana yang difirmankan Allah:
إن هذا القرأن يهدي للذي هو أقوم (الاسراء 9 )

Sesungguhnya Al-Qur'an ini memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus. (QS. Al-Isra: 9)
Namun ternyata kita sangat jauh dari apa yang dikehendaki oleh Al-Qur'an. Sebagai bukti nyata, tatkala seseorang di antara kita membaca ayat demi ayat, surat demi surat dan mengkhatamkan berkali-kali, akan tetapi bacaannya itu tidak meninggalkan jejak pada perilaku dan akhlaqnya.

Bahkan jika kamu menanyakan kepadanya apa yang kau renungkan dari ayat-ayat yang kau baca? Kamu tidak akan mendapatkan jawaban apa-apa darinya, yang penting baginya mengumpulkan pahala yang banyak sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah SAW:
"من قرأ حرفا من كتاب الله فله به حسنة, والحسنة بعشر أمثالها, لا أقول ألم حرف ولكن الف حرف, ولا م حرف, وميم حرف"
“Barang siapa yang membaca satu huruf dari Al Qur'an maka baginya satu kebaikan dan satu kebaikan dinilai dengan 10 semisalnya (10 kebaikan), saya tidak mengatakan alif lam mim satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” (Hadits hasan, riwayat Tirmidzi dari Abdullah bin Mas'ud)

JANGAN SEKEDAR MEMBACA
Sebenarnya bukan seperti itu yang diinginkan Rasulullah SAW, kalaulah Al-Qur'an hanya berkaitan dengan banyaknya pahala yang akan kita dapatkan saat membacanya, maka yang lebih baik kita mengalihkannya kepada amalan lain yang akan memberi kita pahala yang lebih besar lagi. Sebagaimana yang dikabarkan Rasulullah:
"من د خل السوق فقال : لا إ له إلا الله وحده لا شريك له, له الملك وله الحمد يحى و يميت, وهو على كل شيء قد ير, كتب له ألف ألف حسنة , ومحا عنه ألف ألف سيئة, ورفع له ألف ألف درجة, وبنى له بيتا فى الجنة"
“Barang siapa masuk ke sebuah pasar kemudian mengucapkan kalimat laa ilaaha illa-llah wahdahu laa syariika lahu, lahulmulku wa lahulhamdu yuhyi wa yumitu, wa huwa hayyun laa yamuutu bi yadihil khoir wa huwa 'ala kulli syaiin qodiir. (Tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi, bagi-Nya lah segala puji yang menghidupkan dan mematikan. Dan Dia itu hidup tidak akan mati, digenggaman-Nya lah semua kebaikan dan Dia terhadap segala sesuatu Maha Kuasa), dicatat baginya beribu-ribu kebaikan dan dihapus darinya beribu-ribu kesalahan dan dia akan diangkat beribu-ribu derajat, dan akan dibangun untuknya rumah di surga” (Shahih Jami' Shagiir no: 231)

Bukan berarti kita meremehkan pahala tilawah Al-Qur'an, akan tetapi kita ingin meluruskan kembali persepsi terhadap cara berinteraksi yang salah dengan Al-Qur'an. Bahwa sebenarnya nilai dan barakah Al-Qur'an terdapat pada makna yang dikandung, adapun lafadz merupakan sarana untuk mengetahui maknanya. Oleh karena itu Rasulullah SAW mengarahkan dan membangkitkan semangat membaca Al-Qur'an dengan diiming-imingi oleh pahala yang besar. Sebagai perumpamaan: seorang ayah yang memberi uang saku untuk anaknya agar dia tekun belajar dalam waktu yang berjam-jam, tentu saja dia tidak bermaksud agar anaknya hanya duduk di kursi dan membolak-balik halaman buku tanpa mendapatkan pemahaman, akan tetapi tujuan si bapak tadi adalah memotivasi agar anaknya terus belajar dengan serius, supaya dia menjadi orang sukses.

Bila kita memperhatikan tujuan utama diturunkannya Al-Qur'an dan kita hubungkan antara perumpamaan tadi dengan pahala besar yang diberikan Allah Yang Maha Bijaksana atas bacaan Al-Qur'an tersebut, maka akan kita dapatkan bahwa tujuan dari pahala-pahala tersebut merupakan motivasi bagi kaum muslimin agar selalu dekat dengan Al-Qur'an supaya kita memperoleh petunjuk dan hidayah melalui Al-Qur'an, dan mendapatkan kesembuhan jiwa lewat obatnya…adapun kita mendekat padanya tanpa tujuan yang jelas kecuali hanya ingin mendapatkan pahala bacaan saja tanpa memperhatikan makna yang dikandungnya, tentu jelas kita sangat merugi dengan interaksi yang kaku ini dan Al-Qur'an tidak akan menjadi hidayah bagi kita.

SATU-SATUNYA JALAN: TADABBUR
Sebenarnya nash-nash Al-Qur'an sangat jelas akan pentingnya bertadabbur ketika membaca atau mendengarkan Al-Qur'an, supaya tadabbur itu dijadikan sebagai sarana untuk memahami perintah Allah dan mempengaruhi diri kita untuk kemudian diamalkan. Sebagaimana firman Allah:
كتاب انزلناه اليك مبارك ليدّبّروا اياته وليتذكّروا أولوا الباب (ص: 29)
"kitab ini kami turunkan kepadamu penuh dengan barakah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran".(Shaad 29)
Dan Allah juga berfirman:
افلا يتدبّرون القرأن أم على قلوب اقفالها(محمد 23 )
"maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci?" (Muhammad:24)
Dan untuk memahami pesan-pesan Al-Qur'an harus membiasakan diri untuk membacanya dengan penuh tadabbur, oleh karena itu Rasulullah menasehati Abdullah bin Amr bin Ash -radiyallahu anhuma- supaya tidak mengkhatamkan Al-Qur'an kurang dari tiga hari, sebagaimana sabda Rasul SAW:
( لا يفقهه من يقرأه فى اقل من ثلاث )
"tidak akan paham seseorang yang membacanya (Al-Qur'an) kurang dari tiga hari" (shahih jami' shagir no: 1157) .
Bukankah kita selalu bersungguh-sungguh untuk memahami setiap perkataan yang kita baca atau kita dengar? … tapi mengapa kita tidak praktekkan kaidah ini terhadap Al-Qur'an?
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Sudah menjadi ma'lum bahwa setiap perkataan itu, tujuannya untuk bisa dipahami, bukan untuk sekedar mengetahui lafadz-lafadznya saja, maka Al-Qur'an lebih utama (untuk dipahami) dari semua itu." Hal ini juga dikuatkan oleh ustadz Hasan Al-Hudhaibi, "Yang menjadi patokan seseorang dalam tilawah Al-Qur'an bukanlah seberapa banyak ia membacanya, namun sejauh mana ia bisa mengambil manfaat dari hasil bacaannya. Al-Qur'an tidak akan turun sebagai barokah kepada Nabi SAW dengan lafadz-lafadz yang tidak bermakna. Sesungguhnya barokah Al-Qur'an itu saat kita mengamalkannya, dan saat kita mengambilnya sebagai manhaj hidup yang menerangi jalan orang-orang yang menempuhnya, maka ketika kita membaca Al-Quran haruslah diniatkan untuk merealisasikan kandungan makna tersebut, dan itu hanya bisa dilakukan dengan mentadabburi ayat-ayatnya, memahami dan mengamalkannya."

TADABBUR, SARANA BUKAN TUJUAN
Tentu seseorang harus menyertai tilawah dengan pemahaman dan tadabbur, Imam Al-Qurtuby mengatakan dalam tafsirnya tentang ayat:
افلا يتدبّرون القرأن لو كان من عند غير الله لوجدوا فيه إختلافا كثيرا (النساء 82 )
"Apakah kamu tidak mentadabburi al-Qur'an kalaulah ia bukan dari sisi Allah tentu mereka mendapat pertentangan yang banyak didalamnya.” (QS. An-Nisa’: 82)
ia mengatakan: "Ayat ini menunjukan atas (hukum) wajibnya mentadabburi Al-Qur'an untuk mengetahui maknanya."
Maka tadabbur Al-Qur'an sekalipun diwajibkan atas para pembacanya atau atas pendengarnya, tetapi tadabbur itu sendiri bukanlah merupakan tujuan utama, melainkan ia adalah wasilah untuk membangkitkan kembali mu'jizat agung yang dikandungnya dan merealisasikan mu'jizat itu pada jiwa-jiwa yang menerimanya.

MU'JIZAT YANG TERAGUNG
Kita tahu semuanya bahwa Al-Qur'an yang ada di tangan kita merupakan mu'jizat yang besar dan agung yang datang dari Allah, lebih agung dari tongkatnya Nabi Musa AS, dan dari untanya Nabi Shaleh AS, dan dari mu'jizat-mu'jizat lainnya, lalu apa rahasia yang menjadikannya lebih tinggi dari mu'jizat-mu'jizat sebelumnya?
Sebagian menjawab bahwa mu'jizat Al-Qur'an tersembunyi dalam ushlub dan gaya bahasanya, tantangan terhadap seluruh umat manusia yang tak mampu membuat yang semisal dengannya, dan bahwa ia cocok untuk setiap zaman, tempat dan seterusnya.
Semua jawaban ini benar dari beberapa segi kemu'jizatan Al-Qur'an, akan tetapi ada rahasia kemu'jizatannya yang lebih besar yaitu dalam keajaibannya untuk mengubah…mengubah manusia macam apapun, dan dari lingkungan yang bagaimanpun mereka, mengubah mereka menjadi manusia baru yang lebih ‘alim (berpengetahuan luas), ‘abid (tekun beribadah), dalam segala perkara dan kondisinya, sampai membentuk kepribadian yang digambarkan Al-Qur'an:
قل إنّ صلا تى و نسكى و محياى و مماتى لله رب العالمين (الانعام 126 )
"katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah Rabb semesta alam"(Al-An'am162)

DAN KEAJAIBAN ITU TERJADI …
Perubahan yang terjadi lewat Al-Qur'an bermula dari masuknya cahaya Al-Qur'an ke hati, maka setiap kali cahaya tersebut menerangi suatu bagian dari bagian-bagian hati, kaburlah kegelapan yang dikarenakan kemaksiatan, kelalaian dan mengikuti hawa nafsu.
Sedikit demi sedikit bertambahlah cahaya ke dalam hati, dan merangkaklah kehidupan hati di setiap sisinya, memulai hidup baru yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Allah berfirman:
أو من كان ميتا فأحييناه وجعلنا له نورا يمشى به فى الناس كمن مثله فى الظلمات ليس بخارج منها
(الانعام 122 )
"Dan apakah orang yang sudah mati kemudian ia kami hidupkan dan kami berikan ia cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan dengan orang yang keadaannya berada dalam keadaan gelap gulita yang sekali-sekali tidak dapat keluar dari padanya?
{Al-An'am 122}
Al-Qur'an merupakan Ruh yang menyebar dalam seluruh penjuru hati maka ia menghidupkan akan setiap hati yang mati. Allah SWT berfirman:
و كذالك أوحينا اليك روحا من امرنا ما كنت تدرى ما الكتاب و لا الأيمان ولكن جعلناه نورا نهدى من نشاء من عبادنا(الشورى 52 )
"Dan demikianlah kami wahyukan kepadamu Ruh (Al-Qur'an) dengan perintah kami . Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Alkitab dan tidak pula mengetahui apakah iman itu ,tetapi kami menjadikan Al-Qur'an itu cahaya yang kami tunjuki dengan dia siapa yang kami tunjuki siapa yang kami kehendaki diantara hamba-hamba kami".(As-Syuro 52)
Ketika Ruh tersebut menancap dalam hati, dan setiap penjurunya dipenuhi dengan cahaya iman, maka ia mampu mengusir hawa nafsu dan rasa cinta terhadap dunia kemudian akan mempengaruhi prilaku seorang hamba dan tujuan hidupnya.
Inilah yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabatnya ketika ia ditanya tentang makna 'insyirah shadr' (keterbukaan dada) dalam firman-Nya:
أفمن شرح له صدره للاسلام فهو علي نور من ربّه (الزمر 22 )
"maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk menerima agama islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?
{Az-Zumar 22},
Nabi SAW menjelaskan:
(إذا ذخل نور القلب إنشرح و إنفتح) قلنا: يا ر سول الله و ما علامة ذالك ؟ قال: (الإنابة الى دار الخلود , والتجافى عن دار الغرور , والإستعداد للموت قبل نزوله)
“Apabila cahaya iman masuk terbukalah hatinya” (untuk menerima kebenaran), kami bertanya : “Hai Rasulullah apa ciri-cirinya?” Rasulullah SAW bersabda: “Kerinduan kepada kampung keabadian, merasa jauh dari dunia yang menipu, bersiap-siap untuk menghadapi kematian sebelum ia datang."

KEHEBATAN MU'JIZAT ALQUR'AN
Allah berfirman:
ولو أن قرأنا سيرت به الجبال أو قطعت به الأرض أو كلم به موتى بل لله الأمر جميعا(الرعد 31 )
"Dan sekiranya ada suatu bacaan (kitab suci) yang dengan bacaan itu gunung gunung dapat digoncangkan, atau bumi jadi terbelah, atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara (tentu Al-Qur'an itulah dia){ArRa'ad 31}
Sesungguhnya Al-Qur'an memiliki pengaruh yang sangat kuat yang tak mungkin kita bayangkan, Allah mengumpamakan kepada kita dengan suatu amtsal:
لو انزلنا هذا القرأن على جبل لرأيته خاشعا متصدعا من خشية الله وتلك الأمثال نضربها للناس لعلهم يتفكرون
(الحشر 21 )
"Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. [Al-Hasyr21]

Gunung—sebagaimana yang dijelaskan Imam Al-Qurtuby—apabila Al-Qur'an ini diwahyukan kepadanya dengan susunan dan gaya bahasa yang indah yang mengandung pelajaran-pelajaran berharga, maka kamu akan melihat gunung yang keras dan kokoh itu pecah dan hancur berkeping-keping karena rasa takut kepada Allah". Dalam amtsal ini kita diperintahkan untuk merenungkan kekuatan pengaruh yang dimiliki oleh Al-Qur'an agar menjadi hujjah bagi semua manusia, dan mematahkan dalih orang-orang yang beralasan bahwa mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mentadabburi Al-Qur'an.

BAHKAN JIN PUN BERIMAN
Di antara bukti kemu'jizatan Al-Qur'an, dan kekuatannya yang dahsyat dalam mempengaruhi, telah terjadi dengan sekelompok jin ketika ia mendengarkan ayat Al-Qur'an. Allah berfirman:
و إذ صرفنا الييك نفر من الجن يستمعون القرأن فلما حضروه قالو أنصتوا فلما قضى ولوا الى قومهم منذرين  قالو يا قومنا انّا سمعنا كتابا أنزل من بعد موسى مصدقا لما بين يديه يهدى الى طريق المستقيم  يا قومنا أجيبوا داعيا الله و أمنوا به يغفر لكم من ذنوبكم و يجركم من عذاب أليم ومن لا يجب داعيا الله فليس بمعجز فى الأرض و ليس له من دونه أولياء أولئك فى ضلال مبينٍٍِ[الأحقاف 29 -32 ]
"Dan ingatlah ketika kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al-Qur'an , maka tatkala mereka mengghadiri pembacaannya lalu mereka berkata: "diamlah kamu untuk mendengarkannya". Ketika pembacaannya telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk memberi peringatan) mereka berkata : Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al-Qur'an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami , terimalah (seruan orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepadanya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari adzab yang pedih. Dan orang yang tidak menerima (seruan ) orang yang menyeru kepada Allah maka dia tidak akan melepaskan diri dari adzab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah, mereka itu dalam kesesatan yang nyata".
(Al-Ahqaaf : 29-32)

BUKTI NYATA YANG TAK TERLUPAKAN
Al-Qur'an memiliki pengaruh yang luar biasa pada setiap jiwa yang menyambutnya dan yang selalu berinteraksi dengan sebenar-benarnya dan menjadikannya sebagai petunjuk dan obat, maka terjadilah perubahan yang besar-besaran dalam kepribadiannya, sebuah kehidupan dengan rancangan dan bentuk baru yang lebih dicintai dan diridhai oleh Allah SWT. Jika kamu ragu akan hal ini mari kita lihat apa yang terjadi pada sahabat-sahabat Rasulullah SAW—semoga Allah meridhai mereka—orang-orang yang berada dalam kesesatan dan kejahiliyyahan yang bukan main sebelum mereka masuk Islam, dalam kondisi yang demikian mereka masuk ke dalam "proyek Al-Qur'an" kemudian keluar sebagai manusia-manusia baru yang menjadi kebanggaan umat manusia sampai detik ini.
Ini merupakan sesuatu yang menakjubkan sebagai bukti bagi kemampuan kitab ini untuk mengubah apa yang ada dalam jiwa seseorang sampai ke akarnya. Kalau bukan demikian, siapa yang percaya bahwa sebuah umat yang hidup di tengah gurun pasir, tak beralas kaki, bertelanjang dada, miskin, tak dicatat dalam sejarah, yang dianggap remeh oleh kekuatan-kekuatan adidaya saat itu, ketika itu datanglah Al-Qur'an mengubah dan membangun kembali kepribadian mereka dengan rancangan, bentuk, dan kehidupan yang benar-benar baru. Dan mengangkat cita dan semangat putra-putra umat itu ke langit. Dan mengikatkan hati-hati mereka kepada Allah agar Dia menjadi satu-satunya tujuan. Semua ini terjadi dalam waktu yang begitu singkat. Hanya dalam hitungan tahun, kafilah ini berubah dengan sangat dratis.
Maka apakah yang terjadi setelah itu?
Janji Allah menjadi sesuatu yang nyata, sebagaimana yang dijanjikannya terhadap hamba-hamba-Nya, ketika mereka telah menunaikan kewajiban untuk memperbaiki diri sendiri, Allah berfirman:
ان الله لا يغير ما بقوم حتى يغير ما بأنفسهم[الرعد 11 ]
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum sampai mereka mengubah diri mereka sendiri."(Ar-Ra'ad : 11)
Dalam hitungan tahun, muncullah sebuah kekuatan baru dari gersangnya padang pasir untuk menghancurkan dinasti-dinasti lalim. Berbaliklah timbangan kekuatan, kemudian… kepemimpinan umat manusia beralih ke tangan mereka.
ومن أوفى بعهده منالله [التوبه 111 ]
"maka siapakah yang lebih menepati janji (selain) Allah?" [At-Taubah111]

KAPAN PERUBAHAN ITU TERJADI?
Yang membuat Al-Qur'an mampu mengubah para sahabat Rasul secara drastis, dikarenakan interaksi yang baik antara Sahabat ra dengan Al-Qur'an, setelah mereka mengetahui betapa berharganya Al-Qur'an dan mereka betul-betul memahami untuk apa Al-Qur'an diturunkan. Dan menjadikan Rasulullah SAW sebagai guru sekaligus qudwah bagi mereka. Sungguh Rasulullah SAW telah menghidupkan nilai-nilai Al-Qur'an dengan prilakunya dan men-shibghah kehidupannya dengan Al-Qur'an. Seakan-akan ia Al-Qur'an yang berjalan di muka bumi, membenci apa yang dibenci oleh Al-Qur'an dan ridha terhadap apa yang diridhai Al-Qur'an.
Rasulullah SAW membaca Al-Qur'an dengan perlahan tidak tergesa-gesa, ia melantunkan dengan indah sebuah surat dalam Al-Qur'an sampai-sampai bacaannya lebih panjang dari surat itu sendiri. Pernah Rasulullah qiyamullail sepanjang malam dengan mengulang-ulangi satu ayat dalam shalatnya yang berbunyi:
إن تعذ ّبهم فأنهم عباد ك و إن تغفر لهم فإنك أنت ألعزيز الحكيم [المائدة 117 ]
"Jika Engkau mengadzab mereka maka sesungguhnya mereka adalah hamba-Mu dan jika Engkau mengampuni mereka maka sesungguhnya Engkau adalah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."(Al-Maidah118)
Bahkan kamu akan terdecak kagum terhadap pengaruh Al-Qur'an yang sangat kuat atas diri Rasulullah SAW ketika ia memberitakan kepada kita:
شيّبتنى هود وأخواتها قبل المشيب
"surat Hud dan semisalnya (Al-Haaqoh, Al-Ma'arij, At-Takwir,Al-Qariah ) telah membuat rambutku beruban sebelum waktunya"
Adapun pengaruh Al-Qur'an atas jiwa para sahabat RA maka sebaik-baik bukti adalah ketika kehidupan mereka berganti dan tujuan berubah arah. Jika kamu ingin mengetahui kehidupan para sahabat dengan Al-Qur'an dan betapa kuatnya pengaruh Al-Qur'an terhadap mereka, maka lihatlah Abbad bin Bisyr yang saling bergantian berpatroli malam bersama Ammar bin Yasir dalam peperangan Dzaturriqo', ia meminta Ammar dengan setengah memaksa, untuk tidur di awal malam agar ia dapat berpatroli, ketika ia melihat tempat tersebut aman, ia pun sholat, datanglah salah seorang musyrikin memanahnya, ia pun mencabutnya dan meneruskan sholatnya, kemudian musyrik tersebut melemparkan panah yang kedua, ia cabut lagi dan menyempurnakan sholatnya, datanglah panah untuk ketiga kalinya maka ia cabut dan menghentikan tilawah kemudian ia ruku' dan membangunkan Ammar sembari sujud, maka ketika Ammar menanyakan kenapa ia tidak membangunkan sejak terlemparnya panah yang pertama kali, ia pun menjawab: "Sesungguhnya aku ketika itu sedang membaca satu surat dan aku tidak suka menghentikannya sampai aku menyempurnakannya, ketika terus menerus orang itu memanahku aku pun ruku' dan membangunkanmu, Demi Allah, kalau bukan karena takut menyia-nyiakan perintah Rasulullah SAW untuk menjaga perbatasan, tentu aku sudah terbunuh sebelum aku menghentikan bacaan atau menyelesaikannya."

BARAKAH AL-QUR'AN
Jadi sesungguhnya nilai keagungan Al-Qur'an itu terdapat pada makna-maknanya, dan kemampuannya untuk mengadakan perubahan bagi pembacanya, merancang kembali cara berfikir akalnya, membangkitkan ruh dalam hatinya, mendidik jiwanya agar tumbuh menjadi seorang yang alim kepada Allah, beribadah kepadanya dengan ikhlas dan dengan bashiroh mata hatinya. Hal ini tidak akan benar-benar terjadi dengan sekedar membaca saja, walaupun ia mengkhatamkannya beribu kali.
Hal ini juga dikuatkan oleh para sahabat—radhiyallahu anhum—dikatakan kepada Sayyidah Aisyah ra: “Sesungguhnya di antara orang-orang ada yang mengkhatamkan Al-Qur'an dua atau tiga kali dalam satu malam”, ia pun berkata: “Mereka membacanya tapi sebenarnya mereka tidak membaca, sungguh Rasulullah SAW sholat tahajjud semalam penuh, beliau membaca surat Al-Baqarah disambung surat Ali Imron dan surat An-Nisa tidak lewat satu ayat pun tentang kabar gembira kecuali ia berdo'a pada Allah memintanya, dan tidak lewat satu ayat pun tentang ancaman kecuali ia berdoa agar dijauhkan darinya”.
Dan dari Abi Jasroh ia berkata, aku berkata kepada Ibnu Abbas, “Sesungguhnya aku membaca Al-Qur'an dengan cepat dan aku mengkhatamkannya dalam tiga hari”, Ibnu Abbas pun berkata: “Sungguh, membaca surah Al-Baqarah dalam satu malam kemudian aku mentadabburinya dan aku tartilkan bacaannya, lebih aku sukai daripada aku membaca seperti yang kamu katakana.”
Dari wasiat Ibnu Mas'ud adalah, “Janganlah kau membaca Al-Qur'an secepat kau membaca syi’ir, atau seperti buah kurma yang berguguran dari tangkainya, berhenti dan renungkanlah keajaiban-keajaibannya, gerakkanlah hatimu dengannya dan janganlah menjadikan akhir surat sebagai pusat perhatianmu."
Pernyataan ini juga dikuatkan oleh Imam Al-Ajry dalam bukunya Akhlaq Hamalatil-Qur'an (Akhlaq Penghafal Al-Qur'an): “Sedikit mempelajari Al-Qur'an kemudian merenungkannya dan mentadabburinya lebih aku sukai daripada aku membaca banyak tanpa mentadabburi dan mentafakuri, dan ayat-ayat Al-Qur'an dengan jelas menunjukan demikian, begitu juga sunnah dan perkataan para pemimpin umat Islam”. Imam Mujahid ditanya antara seseorang yang membaca Al Baqarah dan Ali Imron dengan seseorang yang membaca Al Baqarah saja, dengan bacaan yang sama panjangnya, ruku' mereka sama, dan sujud mereka sama, mana antara mereka yang lebih utama? Imam Mujahid pun berkata: “(yang lebih utama) yang membaca Al Baqoroh saja, kemudian ia membaca:
وقرأنا فرقناه لتقرأه على الناس على مكث [الإسراء 106 ]
dan alqur'an itu kami turunkan secara berangsur-angsur agar kamu membacakannya secara perlahan-lahan kepada manusia .{al-isro106}

AL-QUR'AN DI ZAMAN INI
Wahai saudaraku…
Kau sudah mengetahui bahwa Al-Qur'an yang ada di tangan kita hari ini sama persis dengan Al-Qur'an yang dibaca oleh para sahabat. Sungguh Al-Qur'an telah menjadikan mereka sebuah generasi yang istimewa. Namun adakah perubahan itu terjadi pada diri kita? Mengapa Al-Qur'an tidak dapat mengulang kembali apa yang dilakukannya pada contoh-contoh di atas? Atau justru sudah tidak ada lagi orang-orang seperti mereka?
Sepertinya hal itulah yang terjadi, karena mu'jizat Al-Qur'an kekal abadi sampai hari kiamat, kalau begitu maka kesalahan ada pada diri kita. Di zaman ini kita dapat menemukan Al-Qur'an di setiap rumah seorang muslim, kita dapat mendengarkan siaran-siaran yang berisi tentang kajian Al-Qur'an dan keislaman di berbagai chanel televisi dan radio, saat ini terdapat puluhan ribu bahkan ratusan ribu orang yang hafal Al-Qur'an, yang belum pernah terjadi pada generasi pertama umat ini (generasi sahabat), namun mengapa umat ini tidak mendapatkan apa yang di dapatkan para pendahulunya, padahal demikian besar perhatian kita terhadap Al-Qur'an? Mengapa?
Karena kita tidak memenuhi syarat-syarat yang kita butuhkan agar Al-Qur'an menancapkan mu'jizatnya pada diri kita, dan agar ia mengubah diri kita.
Perhatian kita terhadap Al-Qur'an hanya sebatas perhatian terhadap lafadz-lafadznya saja, kata “mengajarkan Al-Qur'an” disempitkan maknanya dengan mengajarkan huruf-huruf dan cara pengucapan yang benar tanpa mengajarkan kandungannya.
Dan yang menjadi pendorong utama dalam membacanya disebabkan ingin memperoleh pahala yang banyak tanpa memperhatikan makna-makna di balik ayat-ayat itu. Makna-makna yang jika seorang merenungkannya akan membuatnya merasa lega dari kepenatan dunia saat ia membaca Al-Qur'an, seakan-akan ia terkagetkan saat bacaannya sampai pada akhir surat yang ia baca dan bersemangat untuk memulai surat lainnya, dan ia pun memulainya dengan rasa lapang tanpa ganjalan dalam hatinya. Bahkan, betapa anehnya diri kita saat merasa begitu senang melihat betapa banyak kita membaca tanpa mengetahui kandungannya.
Bahkan sudah menjadi kebiasaan kita, mencari siaran-siaran Al-Qur'an kemudian membiarkan qori’ melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an dan meninggalkannya bersama tembok, sedangkan kita disibukan kembali oleh pekerjaan kita.

AKIBAT KELALAIAN KITA TERHADAP AL-QUR'AN
Cara berinteraksi yang salah dengan Al-Qur'an menyebabkan kita tidak mampu memetik manfaat yang sebenarnya dari Al-Qur'an, maka apa akibat yang akan terjadi?
Saat kita tidak mampu menggapai cahaya Al-Qur'an, maka kemu'jizatan Al-Qur'an pun akan berhenti—bahkan sekarang nyaris berhenti. Mu'jizat berupa perubahan yang nyata bagi jiwa-jiwa manusia, dikarenakan semakin curamnya jurang pemisah antara kewajiban yang harus kita lakukan dan kelalaian diri kita, antara ucapan dan perbuatan, saat itu berubah pula tujuan hidup kita, dan bertambahlah kecintaan dan ketergantungan kita terhadap dunia. Maka berlakulah sunnatullah yang terjadi atas umat-umat sebelum kita.
ذالك بأنالله لم يك مغيرا نعمة انعمها على قوم حتى يغيرو ما بأنفسهم و أن الله سميع عليم [الأنفال3 ]
Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu ni'mat yang telah dianugerahkannya kepada sesuatu kaum , hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri ,dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui ( Al-Anfal 53)
Dan terjadilah apa yang diramalkan oleh Rasulullah saw, dalam suatu haditsnya:
(يوشك أن تداعى عليكم كما تداعى الأكلة إلى قسعتها) فقال قائل: ومن قلة نحن يومئذ؟ قال:(بل أنتم يومئذ كثير, ولكنكم غثاء كغثاء السيل , لينزعن الله من صدور عدوكم المهانة منكم و ليقدفن الله فى قلوبكم الوهن)
فقال قائل: يا رسول الله و مالوهن؟ قال:(حب الدنيا و كراهية الموت)

“Kalian akan dikerubuti oleh berbagai golongan sebagaimana makanan dikerubuti oleh orang-orang yang kelaparan, salah seorang di antara sahabat bertanya, “Apakah waktu itu kita sedikit wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Bahkan jumlah kalian banyak, tapi kalian bagai buih di lautan, karena Allah telah mencabut rasa takut dari hati musuh-musuh kalian dan menanamkan pada hati kalian penyakit al-wahn.” “Wahai Rasulullah apa itu al-wahn?” “Cinta dunia dan takut akan kematian.”

KEMBALI KEPADA AL-QUR'AN
Dari sini kita telah mengetahui dengan jelas. Sudah datang saatnya untuk kembali kepada Al-Qur'an maka sambutlah jamuannya dan arahkanlah wajah kita padanya, tinggalkanlah kesibukan diri kita untuknya.
Sekarang saatnya untuk memulai perubahan baru dalam diri kita agar terwujud janji Allah, sebagaimana Allah janjikan dalam Al-Qur'an:
إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم [الرعد 11 ]
Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaaan yang ada pada diri mereka sendiri (Ar-Ra'ad 11)
Ketahuilah bahwa tidak mungkin memulai perubahan selain melewati pintu Al-Qur'an dan permulaan selain Al-Qur'an tidak akan membuahkan hasil yang kita inginkan. Kenapa tidak, karena Al-Qur'an adalah obat yang diturunkan Allah untuk mengobati penyakit-penyakit yang ada dalam diri manusia dan mengembalikan kesehatannya dalam hatinya. Allah swt berfirman:
يا أيها الناس قد جاءتكم موعظة من ربكم وشفاء لما فى الصدور و هدى و رحمة للمؤمنين [يونس 57]
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang beriman.(yunus 57)

Bagaimana mengambil manfaat dari Al-Qur'an?
Tidak ragu lagi, barangsiapa yang meyakini bahwa Al-Qur'an itu merupakan perkataan Allah yang ditujukan untuk dirinya, yang setiap lembarannya mengandung kunci-kunci keselamatan dunia dan akhirat, ia dapat mengubah dirinya dalam keadaan yang bagaimana pun dengan izin Allah swt. dan tidak ragu lagi, ia tidak memerlukan seseorang yang menunjukan sarana-sarana untuk membantunya mengambil manfaat dari Al-Qur'an karena ia dengan sendirinya telah siap untuk menerima arahan-arahan dari Al-Qur'an yang akan mengubah dirinya.
Tetapi jika kita merasa begitu sulit pada permulaannya untuk melakukan hal yang demikian, dikarenakan kebiasaan kita berinteraksi dengan Al-Qur'an dengan cara yang salah menjadi sekat pembatas antara kita dan Al-Qur'an, yang senantiasa menghalangi kita mengambil manfaat yang sebenarnya dari Al-Qur'an. Apabila demikian maka untuk kembali kepada Al-Qur'an kita membutuhkan sarana-sarana yang membantu dan kiat-kiat praktis yang akan membantu kita untuk memalingkan wajah kepada Al-Qur'an, menerima jamuan pestanya, masuk ke alam dan proyek Al-Qur'an beserta tahapannya.
Sarana-sarana yang penting untuk membantu merealisasikan hal itu, di antaranya:
1. Menyibukan diri dengan Al-Qur'an.
2. Menyiapkan kondisi yang cocok
3. Membaca secara perlahan
4. Teliti dalam membaca
5. Merespon ayat-ayat yang kita baca.
6. Menjadikan makna sebagai tujuan.
7. Mengulang-ulangi ayat-ayat yang menyentuh hati.

Pertama, menyibukan diri dengan Al-Qur'an.
Artinya, menjadikannya sebagai satu-satunya yang menyibukkan kita, pusat perhatian, dan prioritas utama kita, dan untuk menjadikannya seperti itu maka harus dengan membiasakan untuk membacanya setiap hari walau dalam kondisi yang bagaimana pun. Dan banyak meluangkan waktu untuk Al-Qur'an.
Dikarenakan perubahan yang dilakukan Al-Qur'an adalah perubahan yang lambat, tenang dan bertahap maka untuk dapat memetik hasilnya diperlukan kontinuitas dalam berinteraksi dengannya, dan tidak membiarkan satu hari pun terlewati tanpa membacanya.
Ketahuilah, sebanyak kita memberikan waktu untuk Al-Qur'an maka sebanyak itu pula Al-Qur'an memberikan cahayanya kepada kita. Barangsiapa yang mampu berinteraksi dengannya berulang kali dalam satu hari maka ia telah meraih tongkat kemenangan.

Kedua, menyiapkan kondisi yang cocok.
Supaya Al-Qur'an melakukan perubahan pada diri kita maka kita harus menyiapkan kondisi yang tepat untuk menyambutnya, di antaranya mencari tempat sepi yang jauh dari kebisingan sebagai tempat kita bertemu dengannya. Tempat yang tenang akan membantu kita untuk lebih teliti dalam membaca, memahami dengan baik, dan cepat untuk merespon bacaan, dan juga dibolehkan untuk kita mengekpresikan perasaan-perasaan kita ketika kita merasakan gejolak-gejolak jiwa dengan tangisan atau do'a.
Di samping itu, kita juga harus menentukan agar pertemuan kita dengan Al-Qur'an dilakukan pada waktu-waktu produktif bukan pada waktu lelah, mengantuk dan sebagainya. Dianjurkan untuk wudhu dan bersiwak terlebih dahulu.

Ketiga, membaca secara perlahan.
Ketika kita membaca Al-Qur'an maka bacalah ia secara perlahan, tenang, dan tidak tergesa-gesa. Sikap ini menjaga kita dalam pengucapan kata yang benar dan agar dapat melantunkan ayat-ayat Allah SWT dengan indah. Sesuai dengan perintah Allah swt. yang berfirman:
و رتّل القرأن ترتيلا [المزمل 4]
Dan bacalah AlQur'an itu dengan perlahan-lahan.(Al Muzzammil 4)
Janganlah perhatian kita terpusat pada akhir surat yang ia baca. Tidaklah dianjurkan bagi kita untuk menamatkan Al-Qur'an lebih dari satu kali dalam satu bulan, misalnya dalam bulan Ramadhan, yang justru menyebabkan ia tergesa-gesa dalam membacanya. Bukankah sudah berkali-kali kita menamatkan Al-Qur'an dalam bulan-bulan Ramadhan sebelumnya, namun apa yang kita dapatkan? Adakah perubahan pada diri kita? Marilah kita saling berlomba untuk memetik buah-buah keimanan yang terkandung dalam Al-Qur'an, bukan dalam seberapa banyak kita habiskan lembaran-lembaran Al-Qur'an.

Keempat, teliti dalam membaca.
Bacalah Al-Qur'an sebagaimana kita membaca buku lain, jika kita membaca sebuah buku atau majalah atau koran biasanya kita berusaha memahami apa yang kita baca, dan apabila timbul rasa jenuh kita akan kembali membolak-balik lembaran yang sudah kita baca dan mengulangi beberapa makna yang tidak kita mengerti, yang demikian itu disebabkan karena kita ingin memahami apa isi bacaan tersebut.
Seperti itulah seharusnya kita membaca Al-Qur'an, kita membacanya dengan pikiran yang jernih. Apabila sewaktu-waktu merasa bosan, kita mengulang-ulang kembali ayat-ayat yang terekam dalam pikiran kita.
Pertama kali membacanya kita mungkin akan merasa sulit, dikarenakan kita sudah terbiasa membaca Al-Qur'an seakan-akan ia mantra-mantra yang tak bermakna. Hanya dengan kesungguhan dan terus mencoba, kita akan terbiasa untuk membaca dengan teliti, tanpa harus merasa jemu.

Kelima, merespon apa yang kita baca.
Al-Qur'an adalah Kalamullah yang ditujukan kepada kepada semua umat manusia, ia ditujukan kepada saya, anda, dan orang-orang selain kita tanpa terkecuali. Oleh karena itu dalam Al-Qur'an kita bisa menemukan: tanya dan jawab, janji dan ancaman, serta perintah dan larangan.
Maka kita harus merespon hal-hal yang kita baca dalam Al-Qur'an, menjawab pertanyaan-pertanyaannya, melaksanakan perintahnya dengan bertasbih, hamdallah, istighfar dan sujud ketika kita mendapatkan ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk itu, dan juga mengucapkan amin setiap melewati ayat-ayat yang berisi do'a. Meminta perlindungan kepada Allah dari panasnya api neraka ketika membaca ayat-ayat yang berhubungan dengan neraka, juga sebaliknya memohon surga ketika membaca ayat-ayat yang bercerita tentang surga.
Demikianlah Rasulullah saw. memberikan petunjuk kepada kita dalam berinteraksi dengan Al-Qur'an, dan sebagaimana dicontohkan para sahabat yang mulia. Begitu juga melakukan shalat malam dengan hal ini dapat menambah kekhusyu’an, teliti dalam membaca ayat-ayat Al-Qur'an dan tanpa merasa jenuh.

Keenam, pahamilah maknanya secara global.
Sebagian di antara kita ketika memulai untuk mentadaburi Al-Qur'an, dia berusaha untuk memahami Al-Qur'an kata perkata yang membuatnya merasa kesulitan untuk melakukannya, terputus-putus dalam membacanya, pada akhirnya ia akan merasa bosan dan kembali membaca Al-Qur'an tanpa tadabbur dan pemahaman. Namun adakah cara yang membuat kita bisa mentadaburi Al-Qur'an tanpa harus terputus-putus dalam membacanya?
Satu-satunya cara yang mudah untuk mempraktekan kedua hal ini dalam waktu yang bersamaan adalah dengan memahami makna secara global per ayat. Dan ketika kita menemukan beberapa kata yang sulit untuk di pahami, maka cukuplah bagi kita untuk meletakannya sesuai dengan makna yang kita dapatkan dari makna ayat tersebut secra global. Seperti saat kita membaca tulisan berbahasa asing lainnya, misalkan bahasa inggris, ketika tidak tahu arti beberapa kata, maka bisa dipahami dari makna kalimat secara umum.
Begitulah Rasulullah saw. mengajarkan kepada kita dalam sabdanya :
إنّ القرأن لم ينزل يكذّب بعضه بعضا, بل يصدق بعضه بعضا , فما عرفتم منه فعملوا به , وما جهلتم فردوه إلى عالمه
“Sesungguhnya Al-Qur'an tidak diturunkan untuk mendustakan antara satu bagian dengan bagian lainnya, tetapi membenarkan antara satu bagian dan bagian lainnya, maka apa-apa yang kau ketahui darinya maka amalkanlah, dan apa-apa yang tidak kau ketahui maka tanyakanlah kepada orang yang tahu.”
Dengan cara seperti ini tadabur Al-Qur'an bukanlah hal yang sulit bagi setiap orang.
Namun bukan berarti kita tidak perlu membaca kitab-kitab tafsir dan mengetahui makna kata perkata, karena tafsir mempunyai peranan yang sangat besar untuk menjaga pemahaman yang benar, dan merupakan pokok untuk mengetahui hukum-hukum syar'i, dan jangan sampai kita mengambil kesimpulan sendiri dari ayat-ayat Al-Qur'an. Sejarah umat Islam telah menyaksikan berbagai penyimpangan yang terjadi disebabkan pengambilan hukum berdasarkan penafsiran pribadi tanpa memiliki keahlian di dalamnya, seperti kaum khawarij dan aliran sesat lainnya.
Dengan peranan tafsir yang begitu besar maka kita harus mempunyai waktu khusus untuk itu, selain waktu tilawah, karena kita tidak ingin selesainya kita tilawah Al-Qur'an hanya pemahamannya saja yang bertambah, namun juga harus disertai hati yang hidup. Dan ini membutuhkan pertemuan langsung dengan Al-Qur'an, mengizinkan pengaruh-pengaruh kuat yang meresap dalam jiwa kita yang terus menanjak saat kita meneruskan bacaan, dan mengizinkannya masuk ke dalam jiwa kita dengan pengaruhnya yang kuat dan merespon ayat-ayat yang kita baca.

Ketujuh, mengulang-ulangi ayat yang menyentuh hati.
Dan ini adalah sarana paling penting yang membantu mempercepat dalam memetik manfaat dari Al-Qur'an. Sedangkan berbagai sarana sebelumnya walaupun sama pentingnya tetapi ia ditujukan kepada akal pikiran yang menjadi tempat bagi ilmu dan pegetahuan, sedangkan keimanan bersumber pada hati. Hati adalah tempat berkumpulnya perasaan dan emosi dalam jiwa manusia, dan sebanyak kadar keimanannya itulah seseorang akan tergerak melakukan amal shalih.
Artinya, iman adalah perasaan dan emosi. Ada “gejolak” saat jiwa kita merasakan adanya respon balik dan luapan emosi keimanan, yang kita rasakan dalam do'a-do'a kita atau dalam shalat kita atau saat kita membaca Al-Qur'an menyebabkan bertambahnya iman dalam hati kita.

Bacalah dan iman pun bertambah.
Allah Ta'ala berfirman:
وإذا تليت عليهم آياته زادتهم إيمانا و على ربهم يتوكلون [الأنفال 2]
" dan apabila di bacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka(karenanya) dan mereka bertawakal kepada Rabb mereka"{al-anfal 2}
Al-Qur'an adalah sarana utama dalam bertambahnya keimanan pada diri seseorang. Dikerenakan Al-Qur'an mengandung pelajaran-pelajaran sangat berharga yang mengugah perasaan dan menerangi jiwa, maka terjadilah respons balik dengan pikiran dan perasaan.
Benar…pada permulaannya sangat jarang kita menemukan “gejolak” luapan emosi keimanan tadi, akan tetapi dengan seringnya kita membaca Al-Qur'an sesuai dengan sarana-sarana sebelumnya, “gejolak” itu akan datang lebih sering lagi setiap kita membaca Al-Qur'an.

Apa yang kita lakukan saat “luapan keimanan” itu datang?
Kesempatan yang datang itu harus kita petik dengan baik, berusahalah agar cahaya iman dapat masuk ke dalam jiwa kita sebanyak-banyaknya dalam “luapan keimanan” itu, dan hal itu bisa kita lakukan dengan mengulang-ulang ayat yang menggugah perasaan kita, jangan sampai merasa bosan untuk melakukannya selagi jiwa kita masih merespons, inilah yang dilakukan para shahabat dan salafu'shalih—ridwanullah alaihim.
Diriwayatkan dari Ubadah bin Hamzah ia berkata, “Suatu hari saya menemukan Asma shalat dan membaca ayat:
فمنّ الله علينا و وقانا عذاب السموم [الطور 27]
Maka Allah memberi karunia kepada kami dan memelihara kami dari adzab neraka
(At-Thur 27)
maka saya pun diam –memperhatikannya- kemudian dia mengulang-ulang ayat itu dan berdo'a dalam shalatnya, saya kemudian pergi ke pasar, menunaikan kebutuhan saya, dan pulang kembali. Saya temukan dia masih mengulang-ulang ayat tersebut dan berdo'a.”
Dengan mengulang-ulang ayat yang menyentuh hati, akan melipatgandakan potensi keimanan dalam jiwa hamba, dan dianjurkan untuk meneruskanya dengan tangisan dan do'a, Allah swt. berfirman:
إنّ الذين أوتوا العلم من قبله إذا يتلى عليهم يخرون للأذقان سجدا{107}و يقولون سبحان ربنا إن كان وعد ربنا لمفعولا {108} ويخرون للأذقان يبكون ويزدهم خشوعا {109}
Sesungguhnya orang-orang yang diberikan pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud. Dan mereka berkata : Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti penuhi. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'
(Al-Isra 107-109)

PENUTUP
Sarana-sarana ini merupakan kiat-kiat paraktis dan tidak sulit untuk dilaksanakan, tinggallah kemauan keras kita untuk mau berubah, kemauan yang dengan mudah kita dapatkan pada diri setiap orang atas anugrah dari Allah swt., oleh karena itu kita ungkapkanlah ia dengan doa agar Allah swt. memudahkan jalan kita untuk kembali kepada Al-Qur'an dan mengambil manfaat darinya. Allah swt. berfirman:
و قال ربكم أدعونى أستجب لكم [غافر 60]
"dan Tuhan kalian berkata. Berdoalah padaku niscaya aku kabulkan," (ghofir 60)
Setiap kita harusnya melihat dengan jelas sasaran yang akan dicapai dalam kehidupannya yaitu “al qalbu al hay” (hati yang hidup), hati yang oleh Rasulullah diceritakan tanda-tandanya:
الإنابة الى دارالخلود, والتجافى عن دار الغرور , والإستعداد للموت قبل نزوله
"Kerinduan pada kampung keabadian, merasa jauh dengan dunia yang menipu, menyiapkan diri untuk kematian sebelum ia datang"
Maka teruskanlah untuk membaca Al-Qur'an dengan cara-cara seperti tadi sepanjang umur kita. Al-Qur'an adalah sebaik-baiknya pemimpin menuju Allah dalam kehidupan yang disesaki oleh fitnah dan syahwat.
Dan terakhir, Wahai Saudaraku tercinta..!
Apabila kau menginginkan kebahagiaan pada dirimu dan keluargamu maka kembalilah kepada Al-Qur'an, apabila kau menginginkan izzah (kemuliaan) dan kemenangan untuk umatmu maka berpegang teguhlah pada Al-Qur'an, karena di dalamnya terdapat segalanya yang kau butuhkan untuk merealisasikan hal itu, Allah swt berfirman:
أو لم يكفهم أنّا أنزلناعليك الكتاب يتلى عليهم [العنكبوت 51]
Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) sedang dia dibacakan kepada mereka?(al-ankabut 51)
Di saat anda sudah merasakan indahnya hidup bersama Al-Qur'an, memetik makna-makna yang terdapat di dalamnya, dan di saat anda mengecap kemanisan iman, janganlah lupa untuk mendoakan saya (dan orang-orang yang membantu terbitnya buku ini) dan saudara-saudara kaum muslimin di berbagai penjuru dunia agar memperoleh maghfirah, rahmat dan mendapatkan husnul khatimah.
Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada baginda kita Nabi Muhammad saw dan kepada para shahabatnya.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya sempurnalah segala kebaikan. Amin.