Monday, May 14, 2007

Derap Langkah Sulaiman Mewujudkan Peradaban

Bagian ini akan menggambarkan bagaimana langkah-langkah Nabi Sulaiman mewujudkan cita peradabannya. Judulnya lebih tepat disebut langkah-langkah Nabi Sulaiman membangun peradaban dengan keunggulan budaya. Sebab apa yang dilakukan beliau bukanlah sesuatu yang kecil melainkan tradisi-tradisi yang merupakan bahan bangunan peradaban itu sendiri.

Untuk memahami langkah-langkah Nabi Sulaiman a.s. membangun peradaban ini, yang pertama kali perlu dipahami adalah kerja-kerja yang dilakukan merupakan kerja kolektif untuk membangun sebuah tujuan besar. Kolektivitas ini merupakan unsur terkuat dari peradaban itu sendiri. Sehingga proses pembangunan obsesi adalah obsesi kolektif.

Seiring dengan kesadaran kolektivitas kita sebagai umat untuk membangun izzah Islam, nampak umat Islam yang tergabung dalam gerakan-gerakan Islam melakukan kompetisi kebaikan. Inilah yang kini menjadi trend positif di kalangan umat Islam. Al-Qur’an membolehkan bahkan menganjurkan kompetisi gerakan ini dengan istilah fastabiqul khairat. Kompetisi yang dibangun bukanlah untuk menjatuhkan satu sama lainnya, tapi saling melengkapi piramida peradaban Islam. Saya ingin menyebutnya dengan istilah trend kompetisi membangun kompetensi gerakan.

Ya trend gerakan Islam saat ini adalah trend kompetisi membangun kompetensi gerakan. Walaupun tidak perlu kita menyebutnya dengan sebuah atribusi istilah: GBK atau Gerakan Berbasis Kompetensi, saya kira kita lebih sepakat dengan hal-hal yang substantif, yaitu lebih dekat dengan membangun tradisi dan budaya yang unggul. Mengambil inspirasi bagaimana Nabi Sulaiman membangun kerajaannya dengan keunggulan budaya, di bagian ini saya ingin mengajak anda mentadabburi al-Qur’an dan menghidupkannya dalam realitas alam gerakan kita saat ini. Di antara ayat-ayat yang terkait dengan trend kompetensi itu adalah ayat-ayat yang berkenaan dengan keunggulan budaya Nabi Sulaiman a.s. dan kerajaannya yang termaktub dalam surah An-Naml ayat 15 hingga 44. Apa yang saya paparkan di sini sebagiannya merujuk pada kajian yang diberikan Ustadz Muhammad Amru Hilmi Khalid dalam buku Pesona Al-Qur’an. Mari kita menela’ahnya.

Sebelumnya, sekali lagi, saya mengingatkan kembali, untuk memahami paparan 30 ayat kisah Nabi Sulaiman ada baiknya jika kita kaitkan dengan realitas global saat ini. Di abad globalisasi kita melihat keterpurukan umat di berbagai segi. Ketidakmampuan umat dalam bersaing menghadapi perkembangan ekonomi, politik, dan militer antara bangsa yang sangat kompetetitif. Ketidakmampuan ini diperparah dengan kenyataan bahwa umatnya dan terutama generasi mudanya menelan (bukan sekedar ditelan) nilai-nilai globalisasi yang sudah terbaratkan. Anak-anak muda saat ini lebih bangga dengan dunia material hasil orang tuanya, di saat yang sama mereka pun tidak peduli dengan realitas umat yang terseok-seok di jurang kemiskinan. Kekuatan-kekuatan ekonomi global telah berhasil melenakan generasi mudanya yang sebenarnya mereka berpotensi menjadi pemimpin di sepuluh tahun mendatang.

Pertanyaannya adalah apa yang harus dilakukan gerakan menghadapi tantangan globalisasi saat ini. Jawabannya bisa kita refers ke kisah Sulaiman ini, yakni membangun tradisi unggulan! Semula Globalisasi adalah ide, proses, dan ruang netral, tergantung siapa yang mengendalikan, maka globalisasi akan berpihak padanya. Islam memiliki nilai-nilai universal sebenarnya dapat berpotensi mengendalikan dunia global. Tapi faktanya mengapa Barat yang jelas-jelas bersifat lokal, just in the West, dapat mengendalikan globalisasi menjadi westernisasi. Akibatnya banyak bangsa yang secara natural memiliki kekhasan masing-masing, melalui fase globalisasi, tiba-tiba saja mereka terbaratkan.

Nabi Sulaiman adalah raja yang memiliki kendali luas di era global di masanya. Ia mengendalikan dengan kompetensi yang kuat. Karenanya bangsa dan masyarakat yang tersentuh dakwah globalnya, akan ter-sibghah dengan nilai dan cahaya Islam. Oleh karena itu, membangun kompetensi berarti membangun keunggulan peradaban. Al-Qur’an secara lengkap merekam jejak nabi Sulaiman membangun kompetensi diri dan kerajaannya. Di sinilah kemudian kita akan memahami rahasia di balik kehebatan Sulaiman dan sistem kerajaan yang dibangunnya.

Kualitas Sang Pemimpin Peradaban
Kisah-kisah kehebatan dan kebesaran Nabi Sulaiman a.s. (dan kemudian diselidiki lalu menjadi obsesi bagi orang-orang Yahudi untuk mengembalikan kemegahannya, yakni membangun kembali kerajaan Solomon di dunia) ini menginspirasi kita untuk menghadirkannya di masa kini. Anggaplah kerajaan Nabi Sulaiman ini adalah organisasi internasional yang handal dan institusi yang lengkap seperti di zaman sekarang (sebagaimana dipaparkan sebelumnya, Beliau pernah berdo'a agar diberikan kerajaan yang kemegahan dan kehebatannya tidak tertandingi di masanya dan di masa yang akan datang). Sekarang mari kita terapkan keunggulan budayanya dalam institusi gerakan kita. Elemen unggul apa saja yang dimiliki oleh kerajaan Nabi Sulaiman.

Pertama, tradisi ilmiah yang kuat
Dan sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman (15) Kita tahu bahwa semua nabi dan kebanyakkan manusia mendapat ilmu, tapi mengapa Allah menekankannya pada nabi Daud dan Sulaiman, tiada lain karena inilah tradisi pertama dan utama yang diisayaratkan Allah pada hamba-hamba-Nya agar menjadi prioritas. Era globalisasi adalah era ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka menjadi sangat urgen membekali diri dengan pengetahuan terlebih dahulu. Membekali pengetahuan berarti meningkatkan ilmu dan wawasan dengan pembelajaran diri yang intensif bukan dengan diindikasikan oleh nilai tinggi tapi hasil contekan. Bangsa maju bukanlah bangsa plagiat tapi bangsa discovery dan inovasi.

Pada ayat itu juga Allah mengisyaratkan dua sosok yang mewakili dua generasi yang berbeda, hal ini mengisyaratkan pada kita bahwa komunikasi terbaik antar generasi ini adalah komunikasi pengetahuan. Negera, jama'ah, dan gerakan yang kuat tradisi ilmiahnyalah yang akan memenangkan persaingan zaman. Sekali lagi, di sini seolah-olah al-Qur'an mengatakan, bahwa mereka yang memiliki tradisi mencontek dan plagiasi tidak akan mendapat tempat terhormat di setiap parade zamannya. Perhatikanlah Daud dan Sulaiman menyikapi ilmu yang Allah lebihkan pada mereka: dan keduanya mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hambanya yang beriman." (15)

Kedua, kaderisasi yang kokoh dan proaktif
Dan Sulaiman telah mewarisi Daud (16) Perhatikanlah ayatnya, sebagai generasi pelanjut, Sulaiman menjadi fa'il, pelaku yang proaktif mewarisi kelebihan-kelebihan ayahnya bahkan melebihi keunggulan kapasitas yang dimiliki ayahnya. Al-Qur'an dengan begitu cermat menyatakan, bukanlah Daud yang mewariskan kelebihannya pada Sulaiman melainkan Sulaiman yang proaktif meningkatkan kapasitasnya seperti dan bahkan melebihi ayahnya. Warisan yang dimaksud bukanlah harta tetapi kenabian. Rasulullah sendiri pernah mengatakan bahwa para nabi tidak mewariskan harta pada anak-anaknya. Ibnu katsir mengatakan bahwa harta-harta sepeninggal para nabi menjadi sedekah bagi umatnya.

Kaderisasi yang kokoh akan baik jika ditopang oleh tradisi generasi pendahulu yang kuat dan proaktivitas generasi kedua yang progresif. Di sini, seakan kita dibawa pada pemahaman yang luas bahwa masing-masing kita harus memiliki tradisi pengkaderan yang solid dan visioner. Seperti dijelaskan tadi, jika kita perhatikan secara cermat dari ayat ini, kita menemukan sebuah isyarat bahwa komunikasi antar generasi yang dibangun adalah komunikasi pengetahuan, yang karena itu hal ini seolah mengajak kita untuk selalu membangun keberlanjutan peradaban Islam dengan proaktif membaca gagasan para ilmuwan-ulama generasi sebelum kita.

Ketiga, penguasaan bahasa asing
dan dia berkata: "Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang bahasa burung (16) Jika kita ingin unggul dan memiliki pergaulan internasional yang luas, maka penguasaan bahasa asing adalah suatu kemutlakan, banyak manfaat yang didapat: kita akan cepat menyerap informasi primer, tidak mudah ditipu dan ditertawakan bangsa lain, dan karenanya juga kita dapat menyebarkan dakwah dan propaganda politik kebenaran. Bahasa burung di ayat itu mengisyaratkan sebagai bahasa asing di luar bahasa yang familiar sebagai manusia biasa. Penguasaan bahasa asing menjadi kewajiban mutlak bagi aktivis gerakan Islam terutama bahasa induk al-Qur'an yang membuat kita cerdas (QS. Yusuf: 2).

Nampaknya penguasaan bahasa asing ini menjadi kewajiban yang harus diprogram oleh gerakan dalam paket program “pengentasan buta bahasa asing di kalangan aktivis”.

Keempat, kepemilikan sumber daya alam dan manusia
dan kami diberi segala sesuatu. (16) Keberadaan sumber daya (resource) membuat kita percaya diri untuk membangun sebuah prestasi dan kejayaan. Nabi Sulaiman diberikan Allah berbagai sumberdaya alam dari mulai angin yang bisa diperintah hingga daratan dan samudera, bahkan setan dan jin pun di bawah kendalinya, hingga dalam surat Shad kita menemukan setan yang mengabdi pada Nabi Sulaiman bekerja sesuai kompetensinya, di bidang penyelaman (kelautan) dan pembangunan (arsitektural). (QS. Shad: 36-37)

Indonesia adalah negeri yang kaya raya, dari daratan dan lautannya. Di darat terdapat keragaman alam dari potensi bawah tanahnya berupa barang tambang emas hingga emas hitam (minyak) sampai potensi keragaman di atas tanahnya. Begitu juga potensi lautan yang bisa dipanen kapanpun, tanpa terpengaruh musim dan cuaca, kekayaan yang dimilikinya dapat kita ambil kapan saja kita mau. Namun jika kemudian pemanfaatannya tidak diimbangi dengan kepemilikan teknologi, wajar saja ketahanan republik ini selalu kebobolan. Untuk itu sumber daya manusia (human resource) mutlak untuk dididik terlebih dahulu secara kompeten.

Kelima, manajemen yang canggih
Dan dihimpunkan oleh Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu diatur dengan tertib. (17) Bisa anda bayangkan, kerajaan multinasional yang dibangun oleh Nabi Sulaiman adalah kerajaan atau organisasi yang supersibuk. Mereka semua sibuk bekerja sesuai pengaturan job description-nya masing-masing. Tentara atau para pegawai atau para aktivis yang bekerja dalam kerajaan Sulaiman ini bekerja powerfull, tidak ada satu pun anggota yang diam diri. Mungkin bisa kita analogikan, jin, manusia, dan burung tersebut merupakan simbol dari kualitas aktivis atau pegawai yang berbeda-beda, bekerja dengan tingkat kecepatan sangat, middle, dan biasa-biasa, atau masing-masing bekerja sesuai dengan sektor atau segmen kelompoknya masing-masing, dll. Jika kita amati lebih dalam, istilah 'diatur dengan tertib' yang digunakan al-Qur'an bukanlah sekedar di-tandzim (ditata), melainkan yuuza'un (diatur dengan tertib).

Keenam, kepekaan sosial yang tinggi
Sulaiman sebagai raja tidak tinggal duduk manis mengatur kerajaannya di atas kursi empuknya, ia bahkan menghabiskan masa-masanya lebih banyak turun ke lapangan, hingga ke negeri-negeri yang tandus tempat rakyatnya kekurangan air. Kepekaan sosial ini juga melatih tentaranya untuk mampu survival di berbagai tempat. Perjalanan sosial inilah yang kemudian mengantarkan Sulaiman dan tentaranya tiba di sebuah lembah semut. Di sini juga, kemudian terjadilah percakapan ’bahasa asing’ itu. ”Hingga ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, ”Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” (18)

Ketujuh, kedisiplinan dan ketegasan
Kerajaan internasional yang dipimpin Nabi Sulaiman a.s. memiliki jadwal-jadwal khusus untuk melakukan koordinasi dan evaluasi atas program kerajaannya. Bahkan Nabi Sulaiman pun memiliki rapat pleno yang menghadirkan para pegawai kerajaan seluruhnya. Semua personalia inti dan undangan diwajibkan untuk datang tepat waktu. Lebih dari waktu yang ditetapkan akan mendapat sanksinya tersendiri. Paradigma perusahaan atau kerajaan yang dipimpin Sulaiman ini menyatakan bahwa ketidakhadiran atau keterlambatan salah satu personalia dalam pertemuan-pertemuan Sulaiman akan mengganggu kinerja dan kemajuan perusahaannya. Perhatikanlah bagaimana Sulaiman begitu memperhatikan seluruh fungsionaris kerajaannya, dan bahkan tidak sekedar memberikan ’perhatian’, lebih jauh, Sulaiman ’memeriksa’ keberadaan mereka dengan begitu cermat. Perhatikan ayat berikut: ”Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata, ”Mengapa aku tidak melihat Hud-hud, apakah ia termasuk yang tidak hadir?” (20)

Di samping kerajaan Sulaiman memiliki tradisi kedisiplinan dan ketepatan waktu, juga Sulaiman memiliki sikap yang tegas atas orang-orang yang tidak menjunjung tinggi kedisiplinan. ”Pasti akan kuhukum ia dengan hukuman yang berat atau kusembelih ia, kecuali jika ia datang kepadaku dengan alasan yang jelas.” Dalam bahasa manajemennya: akan aku berikan punishment atau aku pecat.

Kedelapan, loyalitas individu pada misi dakwah Islam
Jika kembali kita analogikan kerajaan Sulaiman ini dengan pergerakan atau perusahaan, maka kita akan menemukan bahwa seluruh personalia atau aktivisnya memiliki loyalitas terhadap misi gerakan atau perusahaan yang tinggi. Sehingga ke mana langkah kakinya diayunkan, maka langkah itu tidak terlepas dari misi yang dicanangkan gerakan atau perusahaannya. ”Maka tidak lama kemudian (datanglah Hud-hud), lalu ia berkata, ”Aku telah mengetahui sesuatu yang belum kau ketahui. Aku datang kepadamu dari negeri Saba membawa suatu berita yang meyakinkan.” (22).

Jika kita perhatikan dengan seksama, Hud-hud sebagai burung kecil atau dalam konteks perusahaan ia tergolong sebagai pegawai bawahan, namun memiliki kesetaraan yang sama di hadapan rajanya. ”Aku telah mengetahui sesuatu yang belum kau ketahui. Aku datang kepadamu dari negeri Saba membawa suatu berita yang meyakinkan.”

Berikut adalah informasi yang didapat Hud-hud dalam perjalanannya di negeri Saba, ”Sungguh kudapati ada seorang yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu, serta memiliki singgasana yang besar” (23). Lalu ia menginformasikan fakta-fakta yang ia temukan berseberangan dan bertolak belakang dengan misi kerajaan Sulaiman: yakni tauhid. ”Aku dapati dia dan kaumnya menyembah matahari, bukan kepada Allah; dan setan telah menjadikan terasa indah perbuatan-perbuatan (buruk) mereka, sehingga menghalangi mereka dari jalan (Allah), maka mereka tidak mendapat petunjuk. Mereka juga tidak menyembah Allah yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan yang kamu nyatakan” (24-25)

Menyadari akan kekhilafan Hud-hud yang telah membesar-besarkan kemelimpahan kekayaan dan kemegahan kerajaan ratu Balqis, Hud-hud pun menganulir pernyataannya dengan pernyataan: ”Allah, tidak ada tuhan melainkan Dia, Tuhan yang mempunyai singgasana yang agung.”

Jika diperhatikan lebih jauh, kemaksiatan yang dilakukan manusia pada Tuhannya, dalam ayat ini akan ikut mengganggu ekosistem hewan dan lingkungannya. Mereka merasa terganggu keseimbangannya akibat perilaku manusia yang menyimpang. Wajar jika kemudian Hudhud protes pada Nabi Sulaiman, karena di jamannya, Nabi Sulaiman-lah yang peka terhadap kegundahan hewan akibat kemaksiatan manusia itu. Di sini kita mendapat hikmah bahwa burung-burung pun bersemangat ikut berdakwah dengan memberikan informasi pada Nabi Sulaiman.

Kesembilan, verifikatif dan investigatif
Dalam teori pertahanan ada dua alat pertahanan yang sangat penting, yakni kekuatan pisik yang meliputi persenjataan maupun body itu sendiri dan keakuratan informasi. Sulaiman sebagai raja yang mendapat informasi baru dari Hud-hud, tidak mudah percaya begitu saja, ia berbalik menugaskan Hudhud kembali mengecek kebenaran informasi itu dengan feedback yang akan muncul ke permukaan menjadi sebuah peristiwa. Bagi Hudhud ini adalah ujian kejujuran, tapi bagi Sulaiman ini adalah adalah cara dia memverifikasi kejujuran pegawainya, pada saat yang sama Sulaiman pun menginvestigasi kebenaran fakta tersebut. Perhatikan ayat beikut:
”Dia (Sulaiman) berkata, ”Akan kami lihat, apa kamu benar atau termasuk yang berdusta (27). Pergilah dengan (membawa) suratku ini, lalu jatuhkanlah kepada mereka, kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikan apa yang mereka bicarakan.(28)”

Kesepuluh, musyawarah
Sembilan tradisi di atas adalah tradisi unggul dari kerajaan Sulaiman. Al-Qur’an secara tersirat mencantumkan satu keunggulan budaya kerajaan yang dimiliki ratu Balqis, yakni tradisi syura. Perhatikanlah. ”Dia (Balqis) berkata, ”Wahai para pembesar! Sesungguhnya telah disampaikan kepadaku sebuah surat yang mulia.” (29) ”Sesungguhnya (surat) itu dari Sulaiman yang isinya, ”Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang.(30) Janganlah engkau berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.”(31) ”Wahai para pembesar! Berilah aku pertimbangan dalam perkaraku (ini). Aku tidak pernah memutuskan sebuah perkara sebelum kamu memberi kesaksian.” (32)

Perhatikan dengan cermat bagaimana jawaban PARA PEMBESAR kerajaannya, walaupun Balqis membuka peluang brainstorming dan bermusyawarah dalam persoalan-persoalan kerajaan, para pembesar itu tidak memiliki gagasan cerdas atau pengetahuan yang solid atau informasi yang akurat yang dibutuhkan kerajaan dalam memutuskan persoalan mereka. Justru yang nampak adalah sikap pragmatisme yang tidak berangkat dari kematangan cakrawala peradaban. ”Mereka menjawab, ”Kita memiliki kekuatan dan keberanian yang luar biasa (untuk berperang), dan keputusan ada padamu. Maka pertimbangkanlah apa yang akan engkau perintahkan.” (33)

Bandingkan dengan jawaban PEGAWAI Sulaiman, jawabannya lebih visioner, mencerminkan keberpihakan pada misi kebenaran gerakan, penuh gagasan, dan informasi yang akurat. Syura yang seperti inilah yang diharapkan. Keseimbangan dan kesetaraan antara mas’ul (ketua) dan jundinya (anggotanya). Keputusan tidak begitu saja tergantung pada mas’ulnya, tetapi ditanggungjawabi oleh mereka yang syura. Kesetaraan raja dan pegawainya ini bermuara dari satu kata kuncinya, yakni berangkat dari visi dan misi yang sama dan menjadi kepribadian mereka yang telah melekat.

Dalam manajemen organisasi modern abad 21, digagas bahwa organisasi yang ideal adalah organisasi yang seolah tidak membutuhkan pemimpinnya. Pergantian kepemimpinan tidak ikut merubah misi besar perusahaannya. Di sini tidak ada ketergantungan pada personal. Dalam pengalaman salah satu gerakan Islam terbesar saat ini, misalnya, ketiadaan Hasan al-Banna tidak menyurutkan atau membelokkan visi dan misi gerakan IM dari dakwahnya, bahkan semakin membesar kepak sayapnya, begitu juga dengan gerakan Islam lainnya. Gerakan-gerakan Islam mewujud lebih dikarenakan misi besar peradaban yang menjadi obsesinya untuk menuntaskan sebuah megaproyek. Maka siapapun pemimpinanya, mereka komitmen dengan misi yang telah dicanangkan bersama.

Kesebelas, rabbaniyah
Kerajaan Sulaiman walaupun kaya raya, tidak menjadikannya lupa diri, bahkan kekayaannya itu sendiri bukanlah tujuan hidupnya, melainkan sebagai sarana dakwahnya. Sehingga tidak ada tradisi korupsi, gratifikasi, maupun terbeli oleh bentuk material lainnya. Di era global dan menjelang pasar bebas saat ini, perputaran keluar masuk harta sangat tak terhindarkan. Jika tidak hati-hati dari mana sumbernya dan untuk apa, maka dia akan terbeli oleh dunia. Contohlah sikap Sulaiman, ketika diuji dengan hadiah material oleh ratu Balqis. ”Dan sungguh, aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa hadiah), dan aku akan menunggu apa yang akan dibawa oleh para utusan itu.” (35)
Inilah sikap Sulaiman: ”Maka ketika para utusan itu sampai kepada Sulaiman, dia (Sulaiman) berkata, ”Apakah kamu akan memberikan harta kepadaku lebih baik daripada apa yang Allah berikan kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.” (36)

Bangunan tradisi Nabi Sulaiman a.s. dan kerajaannya adalah bangunan kesetimbangan antara kekuatan spiritualitas keimanan dan materialitas kerajaan. Dari sisi material, Nabi Sulaiman membangun kerajaannya dengan kemegahan-kemegahan hingga dapat dikatakan proyek-proyek mercusuar. Seperti gedung-gedung yang tinggi, patung-patung monumental, bahkan piring-piring besar sebesar kolam, dan lain-lain. Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk (yang tetap berada) di atas tungku. (QS. Saba’: 13)

Kemegahan-kemegahan bukanlah hal yang tabu, justru dalam pergaulan antara negara dan peradaban, hal ini menjadi penting bagi sebuah persaingan dengan kerajaan lainnya. Sebab menaklukan kesombongan kemegahan material kerajaan lain dengan kemegahan material yang lebih dahsyat dengan dihiasai akhlak yang tinggi adalah bentuk ketawadhu’an juga. Tapi kemegahan ini, dalam konsep zuhud, tidak dimasukkan ke dalam hati, cukup di tangan, dan bukan menjadi tujuan hidup. Bagi kita secara individual kekayaan itu jangan melenakan, tapi dalam konteks kelembagaan kekayaan gerakan, jamaah, perusahaan, organisasi, dan negara sangat penting. Yang penting dalam hal ini adalah niatan kolektif kita, transparansi dan akuntabilitasnya dapat dipertanggung jawabkan serta tidak menyakiti perasaan kaum mustadh’afin.

Kesetimbangan Rabbaniyah antara kekuatan keimanan dan material ini tercermin pula dalam al-Qur’an surat al-Hadid (Besi) ayat 25 dengan tiga hal: al-Kitab, al-Mizan, dan al-Hadid. Wahyu, keseimbangan, dan besi.

Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan Rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. Al-Hadid: 25)

Mentadabburi ayat ini akan menyadarkan kita, betapa umat Islam begitu tertinggal di sisi teknologi material, yang sebenarnya telah diisyaratkan urgensinya oleh Allah 1400 tahun yang lalu. Hal ini menjadi rekomendasi bagi kaum muslimin yang bekerja di wilayah konstruksi, pertambangan, telekomunikasi, teknologi dan lain-lainnya agar mengoptimalkan kekuatan teknologinya untuk dipergunakan sebesar-besarnya demi kebaikan dan membela agama Allah dan Rasul-Nya.

Keduabelas, militer yang kuat
Dalam konteks pertahanan ada semacam adagium yang berkembang: barangsiapa yang mengharapkan perdamaian maka bersiaplah menghadapi peperangan. Begitu pula dalam konteks dialog peradaban, ketika komitmen damai secara politik atau ekonomi itu tidak ada, maka kekuatan militer adalah jawaban terakhir. Karenanya perlombaan kekuatan militer dunia selalu mengarah pada upaya persiapan ini: jumlah pasukan, tingkat keterlatihan, teknologi persenjataan, intelejen dan spionase, dan kekuatan-kekuatan strategis lainnya (QS. Al-Anfal: 60-61).

Kisah Sulaiman mengajarkan kita sebuah sikap yang elegan, ketika harga diri ajakan dakwah peradabannya tidak diindahkan, maka Sulaiman pun mengambil keputusan besar: ”Kembalilah kepada mereka! Sungguh, kami pasti akan mendatangi mereka dengan bala tentara yang mereka tidak mampu melawannya, dan akan kami usir mereka dari negeri itu (Saba’) secara terhina sedangkan mereka akan menjadi (tawanan) yang hina dina.” (37)
Apa yang diucapkan Nabi Sulaiman bukanlah gertak sambal. Bala tentara yang tidak terkalahkan itu adalah kenyataan. Bagi umat Islam dan bangsa Indonensia penyiapan di sisi pertahanan dan militer perlu mendapat perhatian. Kemampuan teknologi militer dan persenjataan ini dalam pergaulan internasional sesungguhnya dapat meningkatkan harkat dan martabat negara. Jika di sisi ini kuat begitu pula di sisi lainnya, SDM, Ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem sosial, ekonomi, politik dan kepemimpinan pemerintahan, maka bangsa ini tidak mudah diinterpensi.

Ketigabelas, teknologi super
Nabi Sulaiman adalah raja yang cerdas, upaya dakwah harus lebih dikedepankan sebelum kekuatan militer menjadi jawaban akhir. Maka Sulaiman pun menggunakan upaya pendekatan yang di akhir kisah akan memukau pesona peradaban ilmu, peradaban Islam. Perhatikanlah: Dia (Sulaiman) berkata, ”Wahai para pembesar! Siapakah di antara kamu yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku menyerahkan diri?” (38)

Ifrit dari golongan jin berkata, ”Akulah yang akan membawanya kepadamu sebelum engkau berdiri dari tempat dudukmu; dan sungguh aku kuat melakukannya dan dapat dipercaya.” (39)

Dalam sebuah riwayat, dikatakan bahwa ternyata jin tersebut tidak dapat memindahkannya, hingga Sulaiman berdiri dari tempat duduknya. Sekarang perhatikan orang berilmu mengajukan diri: Seorang yang mempunyai ilmu dari Kitab berkata, ”Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.”

Maka ketika dia (Sulaiman) melihat singgasana itu terletak di hadapannya, dia pun berkata, ”Ini termasuk karunia Tuhan untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Barang siapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barang siapa ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya, Mahamulia.” (40)

Di era sekarang kita butuh orang-orang berilmu pengetahuan seperti di atas yang dapat dimanfaatkan untuk kebaikan yang seluas-luasnya. Penggunaan alat-alat mistik sangat tidak relevan untuk membangun sebuah negara yang kuat. Sebagaimana diceritakan ayat di atas, orang-orang berpengetahuanlah yang dapat menghadirkan keinginan-keinginan dan kebaikan-kebaikan. Dalam konteks peradaban, akan kita temukan sebuah aksioma bahwa peradaban yang menang adalah peradaban yang memiliki tingkat pengetahuan dan kecanggihan teknologi yang tinggi.

Keempatbelas, kreativitas
Ini adalah ’cara perantara’ Sulaiman untuk menguji objek dakwahnya. Kreativitas juga bermanfaat untuk membedakan mana yang tsawabit (tetap) sebagai asholahnya (keasliannya) dan mana yang mutaghayirat (boleh berubah) sebagai ruang inovasinya. Dia (Sulaiman) berkata, ”Ubahlah untuknya singgasananya; kita akan melihat apakah dia (Balqis) mengenal; atau tidak mengenalnya lagi.” (41)

Dalam konteks dakwah, gerakan, dan peradaban, kreativitas adalah satu hal yang mutlak dimiliki, baik dalam menciptakan sesuatu yang baru maupun memodifikasi warisan yang telah ada. Kita pun harus memadukan potensi otak kiri yang sangat sistemik dan terukur itu dengan otak kanan yang sangat imajinatif dan kreatif. Kreativitas adalah keniscayaan yang perlu dibiasakan dalam tradisi pembelajaran dan dakwah kita. Tanpa kreativitas, kejemuan akan menghinggap, selain membuat suntuk, juga akan mematikan potensi-potensi yang dapat dikembangkan.

Kelimabelas, dialog peradaban dan kemampuan berdiplomasi
Kisah Sulaiman dan ratu Balqis adalah kisah dialog peradaban yang mempesonakan. Dialog ini bukanlah dialog toleransi, melainkan lebih sebagai dialog kebenaran yang menguji kualitas antar peradaban. Pada saat yang sama juga akan menguji tingkat kemampuan berdiplomasi antar pemimpin peradaban. Maka ketika dia (Balqis) datang, ditanyakanlah (kepadanya), ”Serupa inikah singgasanamu?”

Agar dia tidak jatuh harga diri dan kerajaannya di depan Sulaiman, maka dia pun menjawab dengan diplomatis. Perhatikan jawabannya: Dia (Balqis) menjawab, ”Seakan-akan itulah dia.” (42) Jawaban ini menunjukkan keraguan dan keheranan Balqis atas apa yang sedang terjadi di hadapannya. Ia tidak percaya kalau singgasananya ada di depannya di lingkungan kerajaan Sulaiman. Jika ia mengatakan ‘benar itu singgasanaku’ maka hal itu menunjukkan kekalahannya. Jika ia mengatakan ‘tidak, itu bukan singgasanaku’ berarti ia telah menipu diri sendiri, sebab ia sejujurnya takjub, mengapa Sulaiman dapat menduplikat singgasananya dengan akurat. Pernyataan diplomatisnya tadi kemudian dia tambahkan, (Dan Balqis berkata), ”Kami telah diberikan pengetahuan sebelumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (42)

Subhanallah. Itulah lima belas elemen keunggulan dalam peradaban kerajaan Sulaiman dan Balqis. Hal ini juga yang seharusnya menginspirasi kita membangun peradaban Islam. Tradisi ilmiah, kaderisasi, manejemen aset dan sumber daya, kedisiplinan, tradisi syura, rabbaniyah, kekuatan militer, hingga kecanggihan teknologi dan kemampuan diplomasi adalah elemen-lemen penting untuk kita terapkan dalam tradisi umat dan bangsa ini, setidaknya dalam konteks mikro, dalam organisasi kita.

Saatnya Menjemput Sang Impian
Jika kita mengikuti langkah Sulaiman dalam membangun tradisi diri dan kerajaannya yang unggul, maka kita akan menemukan sebuah fakta bahwa peradaban yang lain pun akan terpesona karenanya. Ketahuilah, bahwa ratu muda Balqis itu kemudian masuk Islam karena pesona peradaban pengetahuan dan rabbaniyah Sulaiman yang menjelma di alam nyata.

Dikatakan kepadanya: ”Masuklah ke dalam Istana”. Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya.

Berkatalah Sulaiman: ”Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca”. Benar, karena kerajaan kacanya dibuat di atas pantai laut yang mengombak indah dengan hiasan laut dan ikan-ikan indah di bawahnya yang dilapisi lantai tebal, bening dan licin yang terbuat dari kaca sehingga menipu mata bagai menginjak kolam lautan yang indah.

Perhatikanlah bagaimana reaksi Balqis melihat kenyataan yang agung ini: ”Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam”.(44)

Dari doa dan ungkapan Balqis itu, kalimat ma’a Sulaimana menyiratkan sebuah pesan yang implisit, bahwa dia baru menyerahkan diri (aslama) pada Allah itu hanya bersama Sulaiman, ketika itu dan untuk selanjutnya. Seakan ini memberikan isyarat bagi pemuda yang akan menjemput impiannya: jemputlah ia dengan pesona pengetahuan dan kreasi kerajaan kecilmu.

2 comments:

elfarid said...

Saya menemukan blog ini menelusuri permohonan ijin anda untuk mengutip tulisan saya tentang Kecepatan terbang Nabi Sulaiman di http://febdian.net

Silahkan baca tulisan2 lain di:
http://elfarid.multiply.com
http://www.sanggarmewah.uni.cc

Untuk komunikasi bisa via email:
elfarid@sanggarmewah.co.cc

Salam,

Elfarid

dede said...

Assalamu alaikum.
Masih emut ka abdi. Ade Hidayat, filsafat UGM '00.
Ngahaja hoyong nyambung deui silahturahim. pami tos diaos komentarnya, mangga kontak abdi di email:
ade.hidayat@ewsi.co.id
HP. 087878273274